Emiten konstruksi masih sehat



Kesehatan keuangan emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) konstruksi masih tergolong sehat. Rasio utang terhadap ekuitas atawa debt to equity ratio (DER) dari empat emiten, yakni PT Wijaya Karya Tbk, PT Wakista Karya Tbk, PT Adhi Karya Tbk, dan PT PP Tbk itu masih di bawah covenant yang ditetapkan.
 
Sebenarnya, tidak ada patokan berapa DER yang ideal. Soalnya, masing-masing emiten memiliki karakteristik yang berbeda. 
 
Mekanisme pembayaran tiap emiten juga berbeda. Ada yang dominan dengan mekanisme pembayaran terima jadi (turn key), ada juga yang berdasarkan progres dalam termin tertentu. Oleh sebab itu, selama masih berada di bawah covenant perbankan, maka kesehatan keuangannya masih tergolong baik.
 
Nah, jika ingin memperbaiki masalah DER, perusahaan bisa melakukan beberapa cara. Seperti, membayar utang lebih cepat supaya kewajiban berkurang, atau dengan cara mengutak-atik sisi ekuitas.
 
Caranya, bisa dengan melakukan penawaran saham perdana atawa initial public offering (IPO). Emiten konstruksi juga dapat menawarkan rights issue atau private placement.
 
Sebenarnya, DER bukan satu-satunya patokan. Masih ada cara lain untuk mengukur kesehatan keuangan emiten. Menurut saya, untuk BUMN konstruksi itu lebih penting mencermati debt service coverage ratio (DSCR).
 
Perhitungan DSCR menitikberatkan arus kas perusahaan dibandingkan dengan pembayaran utang dan bunganya. DSCR secara umum minimal 1 kali atau 1,5 kali. Karena jika sudah di bawah itu, emiten tidak bisa membayar bunga.
 
Belakangan, selain pendanaan, maraknya kecelakaan kerja menambah sentimen negatif untuk emiten BUMN konstruksi. Pasar melihat, kecelakaan kerja berhubungan langsung dengan operasional sebuah perusahaan.
 
Kecelakaan dapat menghambat dari segi produktivitas dan juga biaya yang dikeluarkan, hingga risiko mendapat sanksi dari pemilik proyek atau kurangnya kontrak selanutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi