Emiten konsumer harus waspada jika kenaikan suku bunga BI gagal stabilkan rupiah



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (7DRRR) diyakini belum akan mempengaruhi permintaan masyarakat terhadap produk-produk emiten sektor konsumer. Namun, emiten-emiten tersebut tetap harus waspada jika kenaikan suku bunga acuan gagal menjaga stabilitas nilai tukar rupiah di kemudian hari.

Seperti yang diketahui, Rabu (30/5) lalu Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 4,75% melalui Rapat Dewan Gubernur tambahan. Ini merupakan kenaikan suku bunga acuan oleh BI yang kedua kalinya dalam dua pekan terakhir.

Analis Danareksa Sekuritas, Natalia Sutanto menyebut, daya beli masyarakat tidak terlalu terpengaruh oleh kenaikan BI 7DRRR. Dalam hal ini, permintaan terhadap produk konsumsi tidak akan berkurang.


Apalagi, kenaikan tersebut berdekatan dengan momen libur Hari Raya Idul Fitri yang membuat peningkatan konsumsi masyarakat akan sulit dibendung dalam kondisi apapun. “Barang konsumer itu berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat akan tetap membelinya,” imbuh Natalia, Kamis (31/5).

Kepala Riset Koneksi Kapital, Alfred Nainggolan berpendapat, kenaikan BI 7 DRRR lebih condong mempengaruhi beban pengeluaran emiten-emiten sektor konsumer, seperti UNVR, MYOR, INDF, dan ICBP. Namun, hal itu dengan catatan, kenaikan suku bunga acuan akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit dalam waktu dekat.

Di samping itu, kenaikan BI 7 DRRR lalu pada dasarnya ditujukan untuk meredam pelemahan rupiah. Alhasil, kenaikan tersebut seharusnya dapat menjadi angin segar buat emiten sektor konsumer.

Menurut Alfred, jika rupiah melemah lebih dari 5% secara year to date, beban pengeluaran emiten-emiten tersebut akan semakin membengkak, utamanya bagi emiten yang menggunakan bahan baku produksi secara impor dalam jumlah besar.

Namun, di sisi lain, Alfred juga bilang bahwa emiten-emiten di sektor konsumer harus tetap waspada karena kenaikan BI 7 DRRR belum tentu membuat rupiah stabil dalam jangka panjang. “Penguatan rupiah akhir-akhir ini baru sekadar pemulihan sementara saja,” kata Alfred, Kamis (31/5).

Natalia mengatakan, potensi pelemahan rupiah memang masih cukup terbuka mengingat tekanan dari eksternal masih cukup kuat. Peningkatan beban pengeluaran bagi emiten-emiten konsumer pun bisa saja terjadi. Kendati begitu, ia menilai, emiten-emiten tersebut belum akan menaikkan harga produk-produknya dalam waktu dekat untuk mengantisipasi tekanan pengeluaran.

“Mungkin kalau rupiah tak kunjung stabil hingga semester kedua, ada pertimbangan dari emiten untuk menaikkan harga,” imbuh Natalia. Terlepas dari itu, Natalia berpendapat, emiten-emiten sektor konsumer masih berpeluang mencatatkan pertumbuhan kinerja yang positif pada tahun ini.

Ia pun menjagokan PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) pada tahun ini. Selain valuasi sahamnya sudah tergolong murah, kinerja kedua emiten tersebut masih dapat meningkat berkat branding produk yang kuat di bidangnya. Ia merekomendasikan beli saham INDF dan ICBP dengan target harga masing-masing Rp 8.000 dan 9.400 per saham.

Sementara itu, Alfred memfavoritkan PT Mayora Indah Tbk (MYOR) pada tahun ini berkat kinerja apik yang ditunjukan oleh perseroan sepanjang kuartal I-2018 lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati