KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) bakal memicu kenaikan harga logam industri. Apalagi, Presiden AS Donald Trump tengah mengajukan permohonan dana jumbo untuk pembangunan infrastruktur baru. Kepala Riset MNC Sekuritas Edwin Sebayang menilai, hal ini akan memicu permintaan produk berbahan baku logam industri, seperti tembaga, nikel, dan timah. Di sisi lain, masih ada sentimen dari Filipina, yang masih membatasi kegiatan penambangan baru. Alhasil, harga komoditas logam bisa naik. Kepala Riset Koneksi Kapital Sekuritas Alfred Nainggolan sependapat. Menurut dia, pasar logam banyak mendapat angin segar dari rencana pengembangan infrastruktur negara-negara besar.
Pada Januari lalu misalnya, impor China naik signifikan. Sebagian besar impor merupakan impor komoditas. "Jadi tren harga komoditas bagus sekali tahun ini," tutur Alfred. Volatilitas harga komoditas pun tak terlalu besar. Harga nikel, misalnya, Alfred memprediksi, bisa menyentuh level US$ 14.000-US$ 15.000 per ton tahun ini. Saham pilihan Sentimen positif di industri tersebut akan berdampak langsung bagi sejumlah emiten komoditas logam. Alfred mengatakan, harga logam di pasar global akan mempengaruhi pembentukan harga logam di dalam negeri. Dia juga menilai, emiten komoditas logam di Indonesia punya ruang ekspor yang besar. Indonesia juga menjadi salah satu penyumbang produk mentah terbesar. Edwin menyebutkan, sejumlah emiten tambang, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), dan PT Vale Indonesia Tbk (INCO), akan diuntungkan dari sentimen ini. INCO misalnya, akan kecipratan untung dari kenaikan harga nikel yang menjadi bisnis utamanya. Sementara itu, ANTM dapat memanfaatkan peluang dari bisnis feronikel. "
Smelter feronikel ANTM sedang dibangun. Pelan-pelan, bisnis ini justru bisa menggantikan porsi pendapatan dari emas," ujar Edwin. Dia merekomendasikan beli saham INCO, ANTM dan TINS. Ia memasang target harga Rp 1.000 untuk ANTM, Rp 1.200 per saham untuk TINS dan Rp 4.400 per saham untuk INCO. "Saya sudah rekomendasikan investor untuk masuk sektor ini sejak akhir 2017," tutur Edwin.
Alfred juga menjagokan saham ANTM. Sebab, ANTM memiliki fleksibilitas dalam penjualan logam. Valuasi
price to book value (PBV) ANTM sebesar satu kali, juga terbilang murah. Ia optimistis ANTM bisa mencatat laba positif di tahun 2018. Ia merekomendasikan beli saham ANTM dengan target harga Rp 1.020 per saham. Di lain sisi, Kepala Riset OSO Sekuritas Riska Afriani mengingatkan, investor harus tetap mencermati sejauh mana kenaikan permintaan logam mampu memberi stimulus produksi logam oleh emiten lokal. "Jika peningkatannya memang signifikan, harus dilihat basis penjualan emitennya, ekspor atau dalam negeri," tutur Riska. Sehingga di sektor komoditas secara umum, Riska masih menjagokan emiten-emiten sektor batubara, seperti PTBA dan ADRO. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati