Emiten Masuk Papan Pemantauan Khusus Semakin Menjamur



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) terus menggemuk. Namun pertumbuhan jumlah emiten tersebut tidak diiringi oleh peningkatan kualitas perusahaan tercatat. 

Dari 914 emiten di BEI, 220 di antaranya masuk dalam papan pemantauan khusus. Jumlah tersebut semakin menggemuk karena mendapat tambahan dari emiten yang belum memenuhi ketentuan free float.

Sekadar mengingatkan, papan pemantauan khusus merupakan papan pencatatan yang disediakan untuk perusahaan tercatat yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan BEI.


I Gede Nyoman Yetna, Direktur Penilaian Perusahaan Bursa Efek Indonesia mengatakan, papan pemantauan khusus dikembangkan sebagai salah satu upaya peningkatan perlindungan terhadap investor. 

"Diharapkan para pihak dapat mengetahui secara cepat mengenai kondisi dari perusahaan tercatat tersebut," kata Nyoman, Rabu (31/1). 

Baca Juga: 6 Perusahaan Gelar IPO di Awal Februari 2024, Simak yang Menarik

Ada 11 kriteria yang membuat emiten masuk ke papan pemantauan khusus, yang tidak hanya terbatas pada pemenuhan peraturan bursa, tetapi likuiditas, opini laporan keuangan hingga permasalahan hukum. 

Mayoritas emiten yang masuk ke dalam papan pemantauan khusus dikenakan kriteria nomor satu, yang mana harga rata-rata saham selama enam bulan terakhir kurang dari Rp 51. 

BEI juga menetapkan kriteria yang berkaitan dengan penerapan good corporate governance (GCG) dan dari sisi kinerja keuangan. Ini tercermin dari kriteria nomor 2, 3, 5, 8 dan 9.  

Jika dirinci ada 7 emiten yang mendapatkan kriteria dua. Kemudian ada 9 emiten terkena kriteria tiga, 46 terkena kriteria lima, 10 masuk karena kriteria delapan dan 3 emiten karena kriteria sembilan. 

Baca Juga: Batas Waktu Pemenuhan Free Float Habis, Begini Kebijakan BEI

Aturan IPO Perlu Diperketat

Pengamat Pasar Modal & Direktur Avere Investama Teguh Hidayat menuturkan jika kriteria emiten bermasalah diperluas, maka jumlah emiten yang bermasalah bisa lebih banyak. Perluasan ini misalnya diperluas untuk perusahaan yang merugi.

"Jika kriteria perusahaan yang bermasalah diperluas maka yang bermasalah bisa mencapai 30%–40%. Artinya 2 dari 5 saham di BEI bermasalah," kata Teguh kepada Kontan.co.id, Kamis (1/2).

Teguh mencermati, permasalahan muncul karena persyaratan untuk melantai di bursa semakin mudah. Alhasil, perusahaan yang kinerjanya kurang bagus dan tidak menerapkan GCG bisa seenaknya masuk ke BEI. 

"Kualitas emiten di bursa sudah menurun sejak 2018. Pada saat itu jumlah IPO menembus 50 emiten baru. Jadi memang sudah lama," katanya.

Baca Juga: Antrean IPO Saham Masih Panjang

Memang jika dicermati terjadi lonjakan IPO yang signifikan. Misalnya pada 2016, jumlah emiten baru hanya ada 16 perusahaan. Kemudian pada 2017 jumlah tersebut meningkat menjadi 37 emiten baru. 

Pada 2018 jumlah IPO langsung melesat menjadi 57 perusahaan baru. Hingga pada puncaknya, BEI memecahkan rekor IPO terbanyak sepanjang masa pada 2023 dengan total emiten 79. 

"Sudah cukup untuk jumlah emitennya. Yang harus diperbaiki adalah aturan IPO harus diperkuat lagi agar tidak hanya mengejar kuantitas, tetapi juga kualitas," kata Teguh. 

Baca Juga: OJK Kantongi Rencana IPO dari 60 Perusahan Senilai Rp 10,01 Triliun

Setali tiga uang, Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy menilai banyaknya emiten yang masuk papan pemantauan khusus karena BEI masih mengejar jumlah emiten yang IPO daripada kualitasnya. 

"Akibatnya banyak perusahaan yang fundamentalnya jelek, ukuran perusahaan kecil dan prospek usaha suram yang masuk ke bursa saham." kata Budi. 

Budi menyarankan kepada BEI dan Otoritas Jasa keuangan (OJK) untuk tidak hanya sekadar mengejar kuantitas, tetapi menitikberatkan pada kualitas. 

Untuk investor, Budi menyarankan terus mempelajari dan membaca laporan keuangan dan prospektus lebih seksama. Teguh juga menyarankan investor selalu berpegang pada kinerja fundamental dan valuasi perusahaan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati