Emiten menantikan stabilitas rupiah



JAKARTA. Setelah menguat pada pekan lalu, nilai tukar rupiah kembali melemah menjelang pengumuman suku bunga The Fed. Di pasar spot, Rabu (16/3) nilai tukar rupiah melemah 0,78% ke level Rp 13.267 per dollar Amerika Serikat (AS) dibanding sehari sebelumnya.

Namun, pergerakan rupiah mengarah ke tren positif. Membaiknya neraca perdagangan dan ekspektasi penurunan suku bunga Bank Indonesia (BI) membuat laju rupiah diharapkan lebih stabil. Hal ini bakal memberi dampak positif untuk emiten.

Satrio Utomo, Kepala Riset Universal Broker Indonesia, mengatakan, penguatan rupiah memang belum terlalu besar. "Tetapi penguatan rupiah dalam dua hingga tiga bulan terakhir ini tergolong cepat," ujarnya kepada KONTAN, Rabu (16/3).


Namun, yang lebih diharapkan investor dan emiten bukan hanya soal penguatan rupiah, melainkan stabilitas nilai tukar. Pasalnya, penguatan rupiah yang terlalu cepat juga bisa mengacaukan rencana ekspansi emiten.

Menurut Satrio, rentang nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang masih positif bagi emiten ada di kisaran Rp 12.900 hingga Rp 13.200. Menurutnya, sebagian besar emiten di Indonesia, akan lebih banyak terkena dampak positif dari stabilitas nilai tukar rupiah.

"Kebanyakan bahan baku emiten impor jadi memang dampaknya bisa positif untuk emiten," ujarnya.

Salah satu emiten yang sensitif terhadap pergerakan rupiah adalah PT Indofarma Tbk (INAF). Yasser Arafat, Sekretaris Perusahaan INAF menilai, kondisi perekonomian tahun ini terlihat lebih stabil.

Sehingga harapannya, pergerakan rupiah bisa berada dilevel Rp 12.500 per dollar AS. INAF terbilang sensitif terhadap fluktuasi kurs. Sebab, perseroan tidak melakukan hedging mata uang untuk mengatasi hal tersebut.

Victoria Venny, Analis MNC Securities, mengatakan, saham-saham yang menggunakan biaya operasional dalam dollar AS akan diuntungkan. Menurutnya, selain sektor farmasi, sektor otomotif yang banyak mengimpor suku cadang juga akan mendapat keuntungan jika rupiah berada di lajur penguatan.

Misalnya saja, PT Astra Internasional Tbk (ASII) Dan PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL). Sementara menurut Satrio, emiten konsumer milik Grup Indofood juga cukup sensitif terhadap pergerakan nilai tukar lantaran bahan bakunya banyak diimpor.

"Sektor pakan ternak juga banyak mengimpor bahan baku seperti jagung dan kedelai, biaya bahan bakunya bisa lebih murah kalau ada penguatan rupiah," ujar Victoria.

Emiten-emiten yang memiliki porsi utang dalam dollar yang cukup tinggi juga bakal menuai berkah. Satrio menyarankan untuk kembali memperhatikan saham PT Alam Sutera Tbk (ASRI) yang porsi utang dollarnya cukup besar.

Begitupula sektor telekomunikasi seperti PT Indosat Tbk (ISAT) ataupun PT XL Axiata Tbk (EXCL). Emiten yang was-was Namun, sektor komoditas ekspor, seperti CPO dan tambang justru bakal berkinerja sebaliknya.

Victoria bilang, ekspor tambang ke India dan China akan terimbas pelemahan dollar AS. Untuk menyiasatinya, sektor tambang harus bisa melakukan diversifikasi produk untuk mengimbangi berkurangnya permintaan.

Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, mengatakan, saham-saham di sektor tekstil seperti PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) juga bisa dirugikan jika dollar AS melemah. Pasalnya, sebagian besar produknya diekspor. Ia menilai, tahun ini, penguatan rupiah bakal terdorong dari derasnya aliran dana asing ke Indonesia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie