KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Regulator yakni Otoritas Jasa Keungan (OJK) serta Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) berencana untuk merilis aturan baru terkait standardisasi laporan keuangan atau akuntansi. Standard akuntansi yang baru ini diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan mengadopsi International Financial Reporting Standars (IFRS 9, 15 dan 16) yang dikeluarkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). DSAK telah mengeluarkan tiga PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), yakni PSAK 71 (IFRS 9) tentang Instrumen Keuangan, PSAK 72 (IFRS 15) tentang Pendapatan dari Kontrak dengan Pelanggan, dan PSAK 73 (IFRS 16) tentang Sewa. Ketiga PSAK ini terbit 2017 lalu dan mulai efektif awal 2020. Berbagai sosialisasi telah dilakukan oleh regulator terkait kepada para perusahaan khususnya emiten untuk bersiap dalam penerapan standar akuntansi baru ini. Beberapa risiko maupun kendala disinyalir akan timbul jka penerapan ini tidak dilakukan secara benar dan pengawasan dari ahli.
Asal tahu saja, di pasar global, IFRS yang baru ini sudah mulai diterapkan masing-masing mulai 1 Januari 2018 untuk IFRS 15 dan 9, serta sejak 1 Januari 2019 untuk IFRS 16. Di Indonesia, DSAK membolehkan emiten yang ingin lebih dahulu menerapkannya lebih dini. Emiten Indonesia yang tercatat di dua bursa, seperti TLKM yang tercatat di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange, misalnya, sudah mulai menerapkan standar baru ini. IFRS 9 akan mengubah metode perhitungan cadangan kerugian penurunan nilai aset keuangan. Industri yang berkaitan dengan IFRS 9 adalah perusahaan perbankan dan perusahaan pembiayaan. Akan tetapi IFRS 9 ini juga berdampak signifikan buat perusahaan di luar industri keuangan yang mempunyai piutang lebih dari setahun. Lebih lanjut, IFRS 16 mengubah pencatatan transaksi sewa dari sisi pihak penyewa (
lessee). Transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai finance lease sehingga harus mencatat aset dan liabilitas di neracanya. Penerapan IFRS 16 atau PSAK 73 dinilai menantang karena harus mengumpulkan seluruh kontrak yang mengandung sewa. Ditemui saat acara diskusi yang diselenggarakan oleh Kompas, Kamis (2/5), Direktur Keuangan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), Harry M Zein mengatakan, untuk TLKM sudah mulai penyesuaian dengan standardisasi ini sejak tahun 2018 lalu. Pasalnya standardisasi ini dilakukan karena TLKM juga tercatat di Bursa Efek New York yang mengharuskan adanya implementasi standardisasi ini. Lebih lanjut menurutnya, secara teknis memang tidak begitu banyak kesulitan yang ditemui, hanya saja khusus untuk penerapan PSAK 72 menemui banyak kerepotan seperti harus ada peninjauan kembali terkait kontrak-kontrak perusahaan yang jumlahnya puluhan ribu. “Di sisi lain ada beberapa keuntungan seperti beban operasional yang berelasi dengan pendapatan bisa dikapitalisasikan,” ujar Harry. Menurutnya standardisasi ini seyogyanya dibutuhkan utamanya akan mempermudah untuk membandingkan penyajian laporan keuangan yang lebih berkualitas secara industri yang dapat memudahkan investor ataupun lembaga internasional mempelajari laporan keuangan. Selain itu ini juga kesempatan dalam melakukan pembenahan laporan akuntansi secara komprehensif. Kuncinya adalah dialog antara manajemen dengan auditor. Djohan Pinnarwan, Ketua DSAK Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) menjelaskan, inti dari standarisasi ini adalah agar setiap kesimpulan yang dihasilkan dari hasil audit dapat reaudit oleh pihak lain untuk mencapai kesimpulan yang sama. Lebih lanjut, menurutnya ada beberapa poin yang harus diperhatikan terutama dengan beban perpajakan, utamanya yang menyangkut pendapatan yang belum terlihat. Lebih lanjut, pihaknya sudah melakukan sosialisasi ke perbankan dan industri keuangan non bank. Menurutnya, jika implementasi ini tidak dilaksanakan dengan benar maka bisa berdampak kepada menurunnya kualitas laporan keuangan. Rosita Sinaga, Financial Services Industry Leader dan Audit Advisory Leader Deloitte Indonesia mengatakan, implementasi ini setidaknya bisa dilakukan paralel mulai awal Juni 2019. Diharapkan enam bulan paralel tersebut bisa memitigasi risiko dari penerapan standarisasi ini. Menurutnya, di kuartal III seharusnya dari sisi infrastruktur dan kebijakan harus sudah siap. Nur Sigit Warsidi, Direktur Penilaian Keuangan Perusahaan Sektor Jasa OJK mengatakan, OJK sudah melakukan sosialisasi hingga imbauan bahwa implementasi ini harus bisa dilaksanakan di Januari 2019. “Ini
awakening call. Kami sudah koordinasi dengan industri maupun pemerintah terkait seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian BUMN,” ujar Sigit. Menurutnya, pada saat diterapkan maka harus ditaati. Terkait sanksi masih akan sama yakni mulai dari dengan pemanggilan hingga pemeriksaan. Untuk adanya risiko perbedaan opini maupun kesimpulan laporan keuangan menurutnya harus dapat diminimalisir terlebih patokan dari standardisasi ini yang sudah jelas diharapkan sebelum ada penerapan itu diharapkan adanya komunikasi yang dalam antara auditor dengan manajemen untuk menarik kesimpulan hingga menjadi opini. “Memang ada industri yang mungkin kesulitan terutama dari pengakuan pendapatan serta metode pencadangan yang harus ada penyesuaian. Bisa jadi ada penambahan pencadangan,” ujar Sigit.
Menurutnya, utamanya dari adanya perubahan standardisasi ini akan menggambarkan laporan keuangan yang sesungguhnya di perusahaan. Selain itu perusahaan dapat lebih fokus dengan operasional mereka dan standardisasi ini dapat meningkatkan tingkat perbandingan laporan keuangan secara internasional. Mitigasi risiko juga semakin baik terutama dari sisi pencadangan dari gagalnya pembayaran kewajiban. Salah satu emiten yang sudah menyatakan kesiapannya adalah PT Mark Dynamics Indonesia Tbk (MARK). Direktur Utama MARK, Ridwan Goh mengatakan secara umum pihaknya sudah siap mengimplementasikan aturan baru terkait standardisasi ini. “Untuk PSAK 71 pencadangan piutang tidak banyak berbeda yang yang sudah diterapkan sekarang. Secara prinsip sudah sama. Kami akan
comply di 2020,” ujar Ridwan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi