Emiten Perkebunan Terancam Kehilangan Pasar Eropa Imbas Kebijakan Deforestasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten-emiten perkebunan terancam kehilangan pasar Eropa jika tidak segera memiliki sertifikasi yang diakui internasional. Ancaman ini merupakan imbas dari kebijakan baru yang dikeluarkan Uni Eropa terkait Undang-Undang Komoditas Bebas Deforestasi Uni Eropa atau EU Deforestation Regulation (EUDR). 

Analis Henan Putihrai Sekuritas Alroy Soeparto mengatakan, bagi emiten-emiten yang tidak melakukan praktik perkebunan berkelanjutan (ESG) dan tidak memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO, besar kemungkinan produk sawitnya tidak dapat diterima oleh pasar Eropa. 

"Emiten yang tidak memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO, akan kehilangan pasar Eropa dan berpengaruh terhadap pendapatan dan laba bersih," ujar dia kepada Kontan.co.id, Senin (26/12). 


Alroy menyarankan untuk emiten-emiten sawit harus patuh terhadap kebijakan perkebunan yang praktik berkelanjutan agar produk sawit dapat diterima oleh pasar Eropa. Emiten yang memiliki sertifikasi RSPO dan ISPO berpeluang untuk ekspor ke pasar Eropa.

Baca Juga: Uni Eropa Larang Impor Produk Deforestasi, Begini Prospek Bagi Emiten Perkebunan

Alroy menambahkan, emiten CPO juga perlu untuk mulai mencari pasar baru guna mendiversifikasi pembeli produk sawit. Sehingga, jika ada kebijakan Uni Eropa yang merugikan industri sawit, tidak akan memberikan dampak yang terlalu signifikan terhadap emiten-emiten sawit Indonesia.

Adapun, Alroy memperkirakan harga jual rata-rata CPO di kuartal keempat 2022 tidak berbeda jauh dari kuartal ketiga 2022. Sementara volume produksi CPO akan berpengaruh besar pada peningkatan pendapatan emiten-emiten. 

"Kuartal keempat menjadi tantangan tersendiri bagi emiten-emiten sawit karena memasuki musim hujan di mana proses panen dapat terganggu, terutama jika banjir," ucap dia.

Baca Juga: Turun Separuh, Dana Pungutan Ekspor CPO Capai Rp 34,5 Triliun di 2022

Alroy menambahkan bahwa tahun 2022 merupakan high-base bagi sektor sawit. Artinya, harga CPO tahun ini sudah tinggi. Sehingga kenaikan harga rata-rata CPO di tahun 2023 tidak akan setinggi 2022. 

Sentimen yang menjadikan tahun 2022 sebagai high-base adalah adanya perang geopolitik Rusia-Ukraina yang menjadikan ketersediaan minyak nabati (bunga matahari) langka. Alhasil industri di Eropa beralih ke minyak sawit dan menjadikan permintaan akan minyak sawit meningkat. 

Selain itu, sempat diberlakukannya larangan ekspor produk sawit (CPO), membuat ketersediaan minyak sawit di global semakin langka sehingga harga minyak sawit di separuh pertama tahun 2022 melonjak naik. 

Baca Juga: Begini Prospek dan Peluang Pasar Modal di 2023

"Jika dilihat situasi global saat ini, harga sawit sudah mulai bergerak sideways di kisaran RM 3.600 per ton hingga RM 4.400 per ton," tutur dia. 

Alroy memproyeksikan harga sawit 2023 jauh lebih rendah dari 2022. sehingga emiten-emiten sawit yang memiliki umur pohon yang prima antara 10-14 tahun dengan produktivitas yang terus meningkat dapat mencatatkan pertumbuhan pendapatan dan laba.

Di antara emiten-emiten perkebunan, Alroy merekomendasikan beli untuk saham PT Dharma Satya Nusantara Tbk (DSNG) dengan target harga Rp 650 per saham, PT Triputra Agro Persada Tbk (TAPG) dengan target harga Rp 850 per saham, dan PT Sumber Tani Agung Resources Tbk (STAA) dengan target harga Rp 1.400 per saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati