KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emiten
poultry membukukan pertumbuhan kinerja yang signifikan sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2021. Kontan mencatat,
top line dan
bottom line beberapa emiten
poultry terkerek hingga dua digit, bahkan lebih. Mengutip laporan keuangannya, PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (
JPFA) membukukan kenaikan pendapatan hingga 23,11% secara tahunan atau
year on year (yoy) menjadi Rp 32,80 triliun. Sementara, PT Malindo Feedmill Tbk (
MAIN) mencetak pendapatan bersih Rp 6,71 triliun atau naik 34,05% yoy. Pertumbuhan pendapatan paling tinggi dialami oleh PT Widodo Makmur Unggas Tbk (
WMUU) mencapai 1607,8% yoy menjadi Rp Rp 2,19 triliun. Asal tahu saja, pada periode yang sama tahun lalu, pendapatan WMUU tercatat Rp 818,06 miliar.
Baca Juga: Indonesia dapat investasi gasifikasi batubara, jadi sentimen positif bagi PTBA Top line yang terkerek signifikan itu berdampak pada
bottom line emiten-emiten
poultry. Ketiganya membukukan pertumbuhan
bottom line yang drastis. Tercatat, laba bersih JPFA naik hingga 486,07% yoy menjadi Rp 1,5 triliun. Adapun laba bersih WMUU meningkat 117,58% yoy menjadi Rp 144,09 miliar. Sementara MAIN mencetak laba hingga Rp 18,66 miliar sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2021 ini. Capaian itu lebih baik dibanding periode yang sama tahun lalu yang menanggung rugi hingga Rp 72,5 miliar.
Baca Juga: Prospek emiten rumah sakit tetap bugar meski kasus Covid-19 melandai Analis Samuel Sekuritas Indonesia Muhammad Farras Farhan mencermati, mayoritas emiten
poultry di bursa memang mencetak kinerja positif yang signifikan hingga kuartal ketiga 2021 ini. Pertumbuhan kinerja yang terlihat tinggi itu dikarenakan
low base di tahun 2020. Sekadar mengingatkan, pemerintah menerapkan pembatasan mobilitas masyarakat yang cukup ketat di kuartal kedua dan kuartal ketiga tahun lalu. Di samping itu, kinerja yang positif tahun ini ditopang oleh kinerja di kuartal pertama dan kedua yang sudah membukukan kenaikan signifikan. Apabila dicermati kembali, kinerja JPFA dan MAIN sebenarnya cenderung lesu khusus di kuartal ketiga 2021 ini. Pemerintah yang kembali menarapkan PPKM secara ketat di awal kuartal ketiga ini menjadi salah satu faktornya. Pembatasan yang ketat itu menekan permintaan
food and beverage (F&B) dan hotel, restoran, kafe (horeka) karena harus ditutup secara sementara. Kondisi ini akhirnya menekan harga broiler dan
day old chicks (DOC). "Itu yang menyebabkan di kuartal ketiga ini, sebagian besar emiten
poultry seperti JPFA dan MAIN rata-rata mengalami
net income minus secara kuartalan," ungkap Farras kepada Kontan.co.id, Jumat (5/11).
Baca Juga: Harga batubara terkoreksi, begini prospek dan rekomendasi saham emiten batubara Akan tetapi, kinerja keuangan WMUU terus bertumbuh sejak awal tahun. Pertumbuhan ini tidak terlepas dari kondisi WMUU yang tengah dalam fase pertumbuhan. Di sisi lain, WMUU memang sedang memaksimalkan utiliasai rumah potong ayam (RPA) barunya di Wonogiri. "Walaupun secara angka belum sebesar JPFA atau MAIN, tetapi secara
growth WMUU itu memang lagi meningkat. Jadi wajar saja WMUU di kuartal ketiga
net income-nya positif sendiri," imbuh Farras. Hingga akhir tahun, emiten-emiten
poultry memiliki potensi untuk mencetak kinerja yang positif. Mengingat beberapa wilayah di Indonesia sudah memasuki PPKM level satu dan dua, sehingga F&B dan horeka bisa beroperasi kembali. Di sisi lain, daya beli masyarakat kembali menguat. Kondisi ini bisa mengerek harga jual emiten
poultry di atas bebannya. Sehingga,
top line dan
bottom line berpeluang membaik di kuartal keempat dibanding kuartal ketiga 2021.
Baca Juga: Meski Laba Melesat, Analis Menilai Kinerja JPFA di bawah ekspektasi Walau memiliki propsek positif, investor tetap perlu memperhatikan perkembangan penanganan dan kasus Covid-19. Mengingat, Indonesia memiliki peluang mengalami gelombang ketiga Covid-19. Apabila hal ini terjadi, maka klien emiten
poultry seperti F&B dan horeka akan terdampak negatif. Senada, Analis Phillip Sekuritas Michael Filbery mengungkapkan, dengan asumsi tidak ada pembatasan mobilitas masyarakat secara ketat seperti PPKM darurat pada bulan Juli 2021 lalu, pertumbuhan pada kuartal keempat masih dapat terjadi dengan level konservatif. Perbaikan kondisi itu juga ditopang oleh harga bahan baku yang dapat kembali normal seiring memasuki musim panen raya jagung. Sehingga, harapannya dapat menekan biaya produksi emiten-emiten poultry. Adapun untuk kinerja sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2021, Michael melihat emiten
poultry memang bertumbuh signifikan. Akan tetapi pertumbuhan itu memang lebih banyak ditopang kinerja di semester pertama 2021. Sedangkan pada kuartal ketiga ini, emiten
poultry justru mengalami kemerosotan performa akibat dari PPKM ketat pada bulan Juli. Kenaikan harga jagung sepanjang kuartal ketiga di tengah penurunan harga
soybean meal juga memberatkan margin segmen pakan para emiten.
Baca Juga: Widodo Makmur Perkasa bidik pertumbuhan pendapatan 300% pada 2021 Peluang berkembang Adapun di tahun 2022, emiten-emiten
poultry masih memiliki peluang untuk bertumbuh. Mengingat, konsumsi ayam di Indonesia masih minim dibandingkan negara-negara lain. Akan tetapi untuk persentasenya, Farras memperkirakan tidak akan setinggi yang dicatatkan tahun ini. Emiten yang menurutnya memiliki kinerja baik ke depan adalah WMUU. Perusahaan yang belum lama menggelar IPO itu dipandangnya masih dalam tahap awal sehingga memiliki potensi berkembang yang besar ke depan. Di sisi lain, induk usaha WMMU, PT Widodo Makmur Perkasa Tbk, akan melantai di bursa dalam waktu dekat. Investor bisa mencermati aksi-aksi yang mungkin dilakukan WMMU bersama induk usahanya ke depan. Prospek yang positif di atas dengan catatan, kapasitas RPA terus meningkat dan permintaan ke depan terus terjaga. Selain WMUU, emiten JPFA juga dinilai atraktif. Walaupun kinerjanya di kuartal ketiga 2021 melorot, JPFA hanya mengalami penurunan dari sisi
income saja. Sementara sisi operasionalnya masih menghasilkan, berbeda dengan emiten poultry lain seperti MAIN.
Baca Juga: Anak usaha Malindo Feedmill (MAIN) akan ekspor makanan olahan ke Jepang tahun depan Terhadap WMUU, investor disarankan
buy dengan target harga Rp 340 per saham. Sementara untuk JPFA, rekomendasi terakhir adalah
buy dengan target harga Rp 2.200 per saham. Akan tetapi, target tersebut akan segera direvisi. Di sisi lain, Michael cenderung merekomendasikan
buy saham JPFA dan MAIN dengan target harga masing-masing di Rp 2.400 per saham dan Rp 1.000 per saham.
Dia lebih menjagokan JPFA karena memiliki pangsa pasar yang cukup kuat pada segmen
feed dan juga DOC. Sehingga telah mencapai skala ekonomis dibandingkan dengan kompetitor. Selain itu JPFA juga cukup terdiversifikasi dari
upstream hingga
downstream. JPFA juga masih fokus untuk memperbesar pasar
downstream pada So Good Food (SGF) karena potensi konsumsi produk
frozen food di masyarakat masih dapat bertumbuh ke depannya. Memperkuat lini
downstream juga akan mengurangi volatilitas kinerja JPFA akibat risiko fluktuasi harga DOC dan broiler.
Baca Juga: Bagaimana prospek saham emiten pakan ternak di akhir tahun? Simak penjelasan analis Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati