KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produksi jagung yang melimpah, bisa menjadi angin segar bagi emiten perunggasan (poultry). Pasalnya, perusahaan bisa mendapatkan jagung untuk bahan baku pakan ternak dengan harga yang lebih bersaing. Sehingga bisa berpotensi menekan beban pokok penjualan dan memaksimalkan laba bersih. Kementerian Pertanian sendiri, optimistis komoditas jagung akan memasuki masa swasembada hasil pertanian. Sehingga penjualan komoditas ini berpotensi untuk diekspor ke sejumlah negara. Dalam catatan Kontan.co.id, pemerintah menargetkan bisa mengekspor jagung sebanyak 300.000 ton. Pemerintah memprediksi pada April 2018, bakal ada panen raya jagung pada seluruh wilayah Indonesia. Panen dengan volume diperkirakan 14 juta ton ini, setara dengan separuh target produksi jagung tahun ini yang mencapai 24 juta ton.
PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT JAPFA Comfeed Indonesia Tbk (JPFA), dan PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) bisa mendulang untung dari momentum harga ini. Diperkirakan, harga jagung tahun ini bisa lebih murah dibandingkan tahun 2017. “Secara internal perusahaan juga sudah menyiapkan infrastruktur yang lebih baik dari 2017,” kata Adeline Solaiman, Analis Danareksa Sekuritas kepada Kontan.co.id, Senin (9/5). Sedangkan secara eksternal, pemerintah sendiri sudah menetapkan harga jagung yang lebih baik dari tahun 2017. Harga referensi dari pemerintah berkisar Rp 4.000 per kg. Hanya saja, harga ini masih dinilai lebih tinggi dibandingkan dengan harga jagung impor. “Kuartal I-2018, trennya masih cukup stabil. Itu merupakan hal yang positif,” tambahnya. Meskipun harga jagung positif, sektor ini tidak hanya ditinjau dari sentimen tersebut. Namun, juga harus mempertimbangkan fluktuasi harga kedelai. Komoditas ini, menjadi bahan campuran pakan ternak sebagai sumber protein. Sayangnya, bahan ini masih didapatkan dengan impor. Sehingga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap nilai tukar rupiah- dollar Amerika Serikat. “Kedelai ini bisa menjadi risiko pada kuartal berikutnya,” tambahnya. Selain itu, berita positif juga datang dari harga day old chickens (DOC) dan broiler. Survei harga di wilayah Jawa Barat, menyatakan pada kuartal I-2018, harga lebih baik dari kuartal I-2017. Pada tahun lalu, konsumsi memang sedang tertekan dan mempengaruhi penjualan produk peternakan. Elemen volume penjualan, masih menjadi penggerak kunci kinerja emiten. “Secara keseluruhan tahun ini bisa lebih baik dari tahun lalu, itu prediksi kami,” imbuhnya. Dia menilai, beberapa saham emiten peternakan sudah naik sejak awal tahun. Dari ketiga emiten, Adeline masih menilai saham JPFA masih menarik dibandingkan ketiga emitan lain. Dia merekomendasikan buy JPFA dengan potensi upside 11,8% dan target harga 1.800. Sedangkan dia merekomendasikan netral saham CPIN karena harganya saat ini sudah naik. Potensi upside berkisar 2%-3%. Untuk MAIN, dia juga masih merekomendasikan maintain netral. Marlene Tanumihardja, Analis Samuel Sekuritas Indonesia menyatakan turunnya harga jagung juga memberikan dampak positif bagi CPIN. Emiten ini memegang pangsa pasar terbesar dalam produksi pakan ternak di Indonesia sekitar 31%. Dia melihat tren penurunan harga jagung sudah terjadi mulai Januari hingga Februari 2018. Diperkirakan, luas panen jagung pada Januari 2018 bertambang 770.000 hektare dan Februari bertambah 1 juta hektare. “Dengan demikian, beban pokok penjualan CPIN untuk kuartal I-2018 berpotensi menurun, seiring turunnya harga jagung,” kata Marlene dalam riset 29 Maret 2018. Sektor peternakan ayam pada awal tahun 2017 terimbas lemahnya daya beli masyarakat. Di antaranya turunnya harga DOC dan Broilers. Harga ayam broiler sempat menyentuh Rp 13.000 per kilogram. Kemudian sempat naik menjelang akhir tahun pada harga Rp 19.000 per kilogram. Terutama menjelang Natal dan tahun baru. Harga DOC juga sempat menyentuh harga terendah sekitar Rp 3.516 per anak ayam. Pada kuartal IV-2017, baru kemudian harga stabil pada kisaran Rp 4.500 per anak ayam. Sektor peternakan juga masih menunggu realisasi pemerintah mengenai batas bawah harga ayam ras. Sebab, kebijakan ini bisa memberikan dampak positif untuk sektor unggas pada saat harga jatuh. Dia merekomendasikan buy CPIN dengan target harga Rp 3.850 per saham. “Mengingat potensi upside yang masih tinggi,” lanjutnya. Secara teknikal, sentimen yang ada dalam sektor poultry tersebut juga telah tercermin pada pergerakan harga emiten. Wijen Ponthus, Analis Royal Investium Sekuritas Indonesia menyatakan, saat ini CPIN sudah dalam posisi uptrend. Dia memprediksi, dalam kurun waktu satu hingga dua bulan mendatang, CPIN bisa berada pada level Rp 4.000. “Kalau akhir tahun, diperkirakan bisa Rp 4.100 - Rp 4.200,” terang Wijen kepada Kontan.co.id, Senin (9/4).
Untuk JPFA, target harga terdekat berada pada Rp 1.700-Rp 1.720. Setelah level ini, akan ada pullback ke level Rp 1.500. Diperkirakan akan naik lagi pada range Rp 1.850-Rp 1.900. Diperkirakan, hingga akhir tahun bisa berada di atas Rp 1.850. Sedangkan untuk MAIN, dia menilai saat ini harga sahamnya terbilang murah. Dia memprediksi dowside MAIN paling jauh berada pada level Rp 640. Sehingga dinilai memiliki risiko yang lebih kecil. Sedangkan untuk potensi upside, MAIN masih memiliki potensi ke level Rp 950-Rp 1.000. “Artinya upside hampir 50%. Upside jauh sekali dan downside kecil,“ katanya. Untuk trading dia merekomendasikan MAIN. Meskipun, secara fundamental tidak sebagus CPIN dan JPFA. Dia menilai, fair value secara fundamental pada CPIN berada pada level Rp 4.200-Rp 4.300 dan JPFA berada pada Rp 1.900. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sofyan Hidayat