JAKARTA. Langkah bisnis rokok semakin berat. Pasalnya, para produsen rokok harus berhadapan dengan rencana pemerintah untuk menaikan pajak pertambahan nilai (PPN) rokok dari 8,4% menjadi 10%. Para analis menilai jika rencana tersebut direalisasikan maka dapat menambah beban para produsen. Hans Kwee,
Vice President Investment PT Quant Kapital Investama mengatakan kebijakan tersebut daapat membuat industri rokok tertekan turun. "Kinerja diperdiksikan akan turun," jelasnya kepada KONTAN akhir pekan lalu. Terlebih lagi pada awal Januari 2015, pemerintah telah memberlakukan kenaikan tarif cukai. Sehingga hal tersebut dapat menekan kinerja karena biaya produksi meningkat. Hal itu lantaran, para perusahaan telah menyusun rencana bisnis dengan hitungan tarif PPN sebesar 8,4%. Nah, jika perhitungan PPN tersebut dinaikkan, maka akan mengganggu rencana bisnis mereka.
Tak hanya itu, sekedar tahu saja, sebelum mendistribusikan rokok ke pasar ritel, para produsen tak hanya menyetor PPN saja, tapi mereka juga harus membeli pita cukai dengan tarif 98,72%. Maka tak heran jika kenaikan tarif PPN ini akan menambah beban dan berdampak negatif bagi laju bisnis rokok. Hal serupa turut disampaikan oleh Analis Trimegah Securities, Dian Octiana pada 23 Januari 2015, industri rokok di tahun ini sudah cukup tertekan oleh keputusan pemerintah yang menaikkan tarif cukai. Ia bilang jika kenaikan tarif cukai di tahun ini berpeluang bagi para produsen seperti PT Wismilak Inti Makmur Tbk (
WIIM), PT Gudang Garam Tbk (
GGRM), PT H.M Sampoerna (
HMSP), dan PT Bentoel International Investama Tbk (
RMBA) untuk menaikkan harga jualnya. "Para perusahaan akan menaikkan harga jual untuk menjaga margin," tulis dia. Dian pun memberikan contoh
GGRM, dengan asumsi pemerintah yang menaikkan tarif cukai sebesar 15%-20% maka perusahaan setidaknya dapat menaikkan harga jual 10,8% hingga 13,5%. Sehingga, tak heran jika nantinya, persaingan kian ketat lantaran adanya perang harga antar produsen. "Hal tersebut dapat memberikan tekanan lebih lanjut bagi laju bisnis rokok," tambah dian. Kenaikan tarif tersebut diberlakukan karena pemerintah di tahun ini lebih mengoptimalkan realisasi pendatan cukai. Dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P), target pendapatan cukai 2015 sekitar Rp 146 triliun. Angka tersebut, naik 15% dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 126,7 triliun. Analis Mandiri Sekuritas, Herman Koeswanto dalam risetnya pada 18 Februari 2015 memprediksi dampak material perubahan akutansi pada perhitungan kredit pita cukai akan terasa oleh para produsen pada kuartal IV-2015. Menurut perhitungannya, lini kredit dua sampai tiga bulan yang disediakan pemerintah harus dibayar di Desember 2015. Dengan begitu, hal tersebut dapat memicu keperluan modal kerja yang lebih tinggi untuk membeli cukai rokok. Seperti
GGRM yang berpotensi miliki tambahan modal kerja sebesar Rp 5 triliun hingga Rp 6 triliun. Tak hanya
GGRM,
WIIM juga akan mendapatkan tambahan modal kerja hingga Rp 150 miliar. Adapun, penambahan modal kerja ini akan mulai berlangsung di kuartal keempat tahun ini. Dalam riset yang berbeda pada 17 Maret 2015, Herman mengatakan lantaran tahun ini tarif cukai naik sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi jenis rokok Mild. Untuk menyiasatinya, para produsen harus menaikkan harga jualnya lebih tinggi.
WIIM contohnya secara year to date perusahaan telah menaikkan harga jualnya di segmen Mild sebesar 5%-6%. Kenaikan tersebut lebih besar dibandingkan pada jenis rokok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret kretek tangan (SKT) yang hanya naik sebesar 2%-3%.
Hans pun menilai, tren industri rokok saat ini cenderung menurun. Hal itu dikarenakan dari tahun ke tahun bisnis rokok ini selalu memiliki tantangan dari regulasi pemerintah. Mulai dari pencantuman gabar seram pada bungkus rokok hingga kini kenaikan tarif ppn. Selain itu, para analis melihat adanya beberapa resiko yang dihadapi produsen rokok antara lain, kenaikan tarif cukai tahun depan yang berpeluang akan lebih besar dibandingkan ekspetasi. Kemudian, dari kompestisi yang semakin ketat, votalitas bahan mentah dan adanya kenaikan suku bunga yang lebih tinggi dari ekspetasi. Dengan begitu, Herman melabelkan
overweight untuk industri rokok. Sementara Dian merekomendasikan
buy untuk
GGRM dan Hans merekomendasikan
hold untuk
HMSP. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa