Emiten sektor unggas harap-harap cemas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laba sejumlah emiten peternakan unggas alias poultry di kuartal I-2018 melejit. Ini tentu menjadi kabar menggembirakan, sebab sebelumnya banyak yang khawatir larangan impor jagung yang dilakukan pemerintah sejak tahun lalu menyebabkan beban keuangan perusahaan bertambah. Sebab, harga jagung lokal lebih mahal.

Mengutip laporan keuangan kuartal I-2018, emiten PT Charoen Pokphand Tbk (CPIN) mencetak laba bersih Rp 995 miliar, naik 59% year-on-year (yoy) dibandingkan periode sama 2017 yang Rp 626 miliar. Kemudian, PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) memperoleh laba bersih Rp 50,25 miliar atau melesat 105% (yoy).

Sedangkan laba PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk meroket 491% menjadi Rp 433,4 miliar (yoy) dari setahun lalu di Rp 73,38 miliar.


Menurut Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi) Anton J. Supit, kenaikan laba industri unggas dalam negeri menunjukkan bisnis di sektor tersebut yang sedang membaik. "Tapi umumnya itu untuk yang terintegrasi, jadi yang dari gabungan seluruh unitnya," jelasnya kepada KONTAN, Senin (14/5).

Bila ditengok lebih dalam lagi, emiten dengan diversifikasi bisnis unggas memang yang mengalami kenaikan paling signifikan. Hanya saja, lini bisnis pakan ternak masih menjadi kontributor besar dari pendapatan perusahaan.

Mengulik laporan keuangan yang dirilis oleh tiga emiten di atas, setelah pendapatan dari pakan ternak, diikuti kontribusi dari penjualan bibit ayam atau day old chick (DOC), ayam pedaging, dan makanan olahan.

Menanggung beban

Prospek bisnis perunggasan pada kuartal II tahun ini diperkirakan masih akan berpihak pada emiten unggas. Sebab kuartal kedua ada momen puasa dan Lebaran yang meningkatkan permintaan terhadap daging ayam.

Namun, perusahaan juga perlu waspada adanya tren kenaikan harga bungkil kedelai. Sebab, bungkil kedelai menjadi salah satu bahan baku utama pakan ternak selain jagung. Harga komoditas impor tersebut kian naik seiring dengan kekhawatiran perang dagang China-Amerika Serikat (AS) dan proyeksi penurunan produksi dunia.

Wakil Ketua Komite Tetap Industri Pakan dan Veteriner Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Sudirman mengatakan, saat ini harga bungkil kedelai telah mencapai Rp 7.600 per kilogram (kg), padahal di awal Januari lalu harganya masih berada di posisi Rp 5.200 per kg.

Kenaikan hingga 46% itu diperberat dengan kurs rupiah yang tengah mendaki. Dengan begitu maka industri harus memikul dua beban, kenaikan harga dan kurs rupiah. "Kenaikan harga kedelai bungkil karena produksi dunia berkurang, terutama di Argentina yang kekeringan. Ditambah dengan sedikit kekhawatiran karena perang dagang China dan AS," jelas Sudirman

Mengutip Reuters (13/4), musim kering yang melanda Argentina tahun ini menyebabkan negara eksportir kedelai dan jagung ketiga terbesar dunia ini terseok. Sejumlah analis memangkas ekspektasi panen kedelai Argentina menjadi 45 juta ton, dari sebelumnya 55 juta ton.

Kekhawatiran semakin tinggi seiring dengan ancaman China untuk memberi tambahan pajak impor sebesar 25% pada kedelai dari AS. China juga berencana mengurangi impor kedelai untuk pertama kalinya sejak 15 tahun terakhir, sehingga dikhawatirkan ancaman itu membuat produksi kedelai AS berkurang.

Bila harga komoditas impor tersebut terus naik di tengah pelemahan rupiah dan gejolak global, Sudirman melihat, industri berbasis pakan ternak akan terdampak. "Akan meningkatkan biaya produksi. Harga bahan baku akan mempengaruhi harga jual pakan," lanjut Sudirman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini