KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sentimen negatif masih membayangi emiten sektor semen. Kelebihan pasokan masih jadi momok bagi industri semen. Data dari Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyebut, tahun ini kapasitas terpasang mencapai 107 juta ton. Sementara permintaan semen hanya tumbuh 6% menjadi 72 juta ton. Selain kelebihan pasokan, persaingan antarprodusen semen juga makin sengit. Maklum, perusahaan semen global juga mengincar kue pasar di Indonesia. Setidaknya, kapasitas terpasang beberapa perusahaan asal China dan Thailand di Indonesia mencapai 23 juta setara dengan 21% dari total kapasitas. Meski begitu, ada harapan penjualan semen membaik. ASI mencatat, konsumsi semen di Indonesia April lalu naik 6% dibanding tahun sebelumnya menjadi 5,33 juta ton. Sumatra mencatatkan konsumsi semen terbesar, yakni mencapai 1,15 juta ton.
Tapi analis menyarankan agar investor tetap hati-hati mengoleksi saham semen.
Vice President Research Artha Sekuritas Frederik Rasali menyebut tahun ini, industri semen belum memiliki stimulus positif. Ia menilai, saat ini kelebihan pasokan tak dibarengi dengan pengaturan pasokan. Meski konsumsi semen naik 6% , Frederik menyebut hal ini tak berpengaruh signifikan terhadap penyerapan pasokan industri semen. “Kecuali ada proyek konstruksi baru yang bisa menopang
demand menjadi lebih tinggi,” ujar Frederik, Senin (25/6). Harga batubara Analis Indo Premier Sekuritas Hasan menyebut, kompetisi antara perusahaan semen juga masih akan berlangsung hingga tahun depan. Sentimen negatif lain yang membayangi adalah kenaikan harga batubara dan pelemahan rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). “Dengan kondisi tersebut, margin perusahaan berpotensi tergerus,” tulis Hasan dalam risetnya. Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia Tbk (SMGR) Agung Wiharto mengamini hal tersebut. Kenaikan harga batubara berpengaruh besar terhadap kinerja lantaran harga batubara berkontribusi sekitar 30% terhadap total biaya produksi SMGR. Kondisi ini membuat kinerja perusahaan semen tertekan. Di kuartal I-2018, laba bersih SMGR turun sebesar 45% menjadi Rp 411 miliar dibanding kuartal yang sama tahun lalu sebesar Rp 750 miliar. Laba bersih PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP) juga turun 46,2% dari Rp 491,5 miliar menjadi Rp 264,2 miliar. Sedang laba bersih PT Semen Baturaja Tbk (SMBR) terpangkas 60,5% dari Rp 32,05 miliar jadi Rp 12,67 miliar. Harga saham ketiga emiten ini juga berdarah. Sejak awal tahun, harga SMGR tergerus 22,73% jadi Rp 7.650 per saham. Harga INTP turun 21,69% menjadi Rp 14.350. Tapi Analis Binaartha Parama Sekuritas Muhammad Nafan Aji berpendapat, di tengah banyaknya sentimen negatif, emiten semen masih punya harapan terkerek sentimen kebijakan pelonggaran
loan to value (LTV). "Rencana pelonggaran LTV dapat memiliki
multiplier effect, harapannya penjualan semen bisa terdongkrak oleh pertumbuhan di sektor properti," ujar dia.
Agung menyebut pertumbuhan di sektor properti bisa berdampak positif bagi SMGR. Sebab, sekitar 70% porsi penjualan SMGR digenggam oleh segmen ritel, sementara 30% sisanya datang dari sektor infrastruktur yang membeli semen curah. "Meski banyak faktor yang mempengaruhi penjualan, tapi LTV bisa berpengaruh terharap pertumbuhan," ujar Agung. Tapi Nafan masih menyarankan investor
wait and see terhadap saham emiten semen. Begitu juga Frederik merekomendasikan posisi neutral untuk ketiga saham ini. Hasan merekomendasikan
sell SMBR dan INTP. Untuk SMGR, rekomendasinya
hold dengan target harga Rp 8.830. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati