KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan kebijakan tarif royalti progresif untuk emas, tembaga dan perak dalam revisi PP No 9/2012 tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Usulan ini bisa mempengaruhi kinerja
bottom line emiten tambang. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) misalnya. Saat ini, kontribusi penjualan emas bagi kinerja ANTM masih yang terbesar, yakni Rp 3,84 triliun atau setara 55,17% dari total pendapatan ANTM di kuartal III-2017 yang sebesar Rp 6,96 triliun. Kontribusi selebihnya dari produk tambang lain, seperti feronikel, bijih nikel, bauksit, perak, batubara dan logam mulia lain. Selain ANTM, ada beberapa emiten lain yang bisa terpapar kebijakan itu. Misalnya PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA).
Manajemen ANTM enggan menanggapi rencana penerapan royalti progresif. "Saya belum bisa memberikan komentar terkait itu," ujar Aprilandi Hidayat Setia, Sekretaris Perusahaan ANTM kepada KONTAN, Selasa (28/11). Analis Erdhika Elit Sekuritas, Okky Jonathan Siahaan menyatakan, kebijakan itu berpotensi membebani kinerja keuangan emiten. Terutama dari sisi biaya yang semakin bertambah, sehingga laba bersihnya bisa menciut. Apalagi, kinerja ketiga emiten tersebut juga dipengaruhi oleh fluktuasi kurs rupiah. "Pada dasarnya emas aset
safe haven.Biasanya orang beli emas saat mengurangi aset berisiko seperti saham. Kini, harga emas masih
sideways dan wajar memang permintaan emas sedikit," kata Okky. Emiten pertambangan sangat terkait harga komoditas global. Diantara beberapa emiten itu, Okky lebih memilih ANTM dan PSAB dan merekomendasikan
buy on weakness. Pasalnya, harga saham kedua emiten terbilang murah saat ini. Sehingga investor ritel bisa melakukan
trading saham tersebut. Untuk
trading, investor harus bisa memanfaatkan momentum dan mencermati harga komoditas. Pada umumnya, bila harga komoditas naik, maka saham bisa naik. Okky mematok target harga Rp 720 per saham untuk ANTM dan Rp 210 untuk PSAB. Menekan laba Analis Binaartha Parama Sekuritas Reza Priyambada berpendapat, usulan royalti progresif akan menekan laba bersih emiten. Pajak akan dipotong sebelum laba bersih dan setelah pendapatan operasional. "Ini bukan pajak final, tapi progresif. Makin tinggi harga komoditas makin tinggi pajaknya," kata dia. Reza menilai, kebijakan ini bisa menjadi batu ganjalan bagi ekspansi emiten. Sebab, bila tidak ingin ada pemotongan tarif royalti lebih besar, maka ekspansi akan ditekan. Apalagi, komponen biaya pertambangan seperti eksplorasi, SDM dan lain-lain sudah menjadi tanggung jawab emiten. "Jangan sampai jadi bumerang buat industri pertambangan," imbuh dia.
Tapi
Senior Analyst Research Division Anugerah Sekuritas Indonesia Bertoni Rio menilai, emiten yang menjual produk pertambangan seperti emas dan tembaga sudah mengantisipasi hal tersebut. Termasuk soal naik turun harga komoditas di pasaran. Bila ada aturan itu, emiten tentu akan mengikutinya. "Dengan naiknya tarif, diharapkan diikuti meningkatnya permintaan. Sehingga menutupi kenaikan tarif royalti progresif," ujar Bertoni. Saat ini, Rio merekomendasikan
hold ketiga emiten tersebut. Dia mematok target harga akhir 2017 untuk PSAB sebesar Rp 200, ANTM Rp 720, dan MDKA Rp 2.500. Pada transaksi kemarin, saham PSAB ditutup Rp 185, ANTM di Rp 650, dan MDKA di level Rp 2.370 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini