Emiten terbitkan saham baru, apa saja risikonya?



JAKARTA. Penerbitan rights issue atau penawaran umum terbatas merupakan salah satu opsi emiten atau perusahaan dalam rangka mengumpulkan dana untuk melancarkan kinerjanya.

Nah, pada semester kedua ini, terdapat beberapa emiten yang memilih rights issue sebagai opsi penggalangan dananya. Beberapa di antaranya adalah PT Bank Artha Graha International Tbk (INPC) yang akan rights issue saham yang bernilai Rp 1 triliun, PT Solusi Tunas Pratama Tbk (SUPR) dengan rencana right issue saham bernilai Rp 648 miliar, dan PT Eatertainment International Tbk (SMMT) sebesar Rp 410 miliar.

Namun penerbitan saham baru ini berpotensi mengurangi kepemilikan saham investor yang sudah ada secara proporsional. Biasanya, hal ini dikenal dengan istilah dilusi, yang pada akhirnya akan berdampak pada nilai saham investor.


Kepala Riset Indosurya Securities, Tonny W Setiadi menilai sebaiknya investor memilih untuk wait and see terkait rights issue ketiga emiten tersebut. Menurut dia, ketiga emiten tersebut termasuk saham golongan ketiga yang likuiditas sahamnya masih minim. Opsi rights issue, menurut Tonny, merupakan salah satu pilihan pendanaan yang pembiayaannya lebih murah dibanding dengan menerbitkan surat utang ataupun meminjam dari perbankan. "Investor baru sebaiknya masuk setelah melihat perkembangan dari gerakan masing-masing saham tersebut," kata Tonny kepada KONTAN, Senin (16/7). Tonny mencermati, pergerakan ketiga saham tersebut sangat minim bahkan cenderung stagnan. Dia mencontohkan, pergerakan saham INPC yang jarang bergerak karena saham yang dilepas perusahaan sebelumnya memang tidak terlalu banyak. "Kecuali untuk SUPR yang harga sahamnya sudah tinggi, sejak reli dari harga Rp 3.000-an pada November tahun lalu, kini sudah hampir mendekati Rp 5.000-an. Namun, yang menjadi kekhawatiran, momen right issue dijadikan investor untuk profit taking," ungkapnya. Selain adanya resiko dilusi saham untuk ketiga saham tersebut, investor juga harus menghadapi resiko turunnya harga saham sebelum (pra) atau setelah (pasca) rights issue. "Namun itu semua tergantung dari tujuan rights issue emiten karena bila tujuan rights issue adalah untuk ekspansi usaha, maka saham tersebut bagus untuk disimpan dalam jangka panjang," jelasnya. Tapi kalau tujuan rights issue adalah untuk membayar hutang perusahaan, sebaiknya investor melepas saham tersebut. Sedikit mengulas, tujuan dari masing-masing emiten mengambil langkah rights issue adalah untuk ekspansi modal kerja mereka. INPC, misalnya, menggunakan dana rights issue untuk memperkuat rasio kecukupan modal mereka (CAR). "Resiko dilusi pastilah ada, namun jika kinerja diproyeksikan bagus untuk jangka panjang maka juga akan menguntungkan investor. Maka dari itu, karena ketiga emiten ini termasuk emiten yang masih akan berkembang, jikapun investor akan masuk untuk beli saham-saham tersebut, sebaiknya dipegang untuk jangka panjang dengan proporsi jumlah kecil saja," saran Tonny. Sedangkan analis Panin Sekuritas, Purwoko Sartono mengamati, biasanya setelah rights issue harga saham malah cenderung menurun untuk jangka pendek. "Harga turun karena sentimen," kata Purwoko. Purwoko menambahkan, untuk menambah proporsi kepemilikannya, investor bisa kembali menginjeksi saham saat harga turun atau bisa beli lagi untuk mempertahankan posisinya. "Bila dirasa prospek emiten tersebut bagus, ada baiknya memegang untuk jangka panjang," imbuh Purwoko.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie