JAKARTA. Dalam beberapa pekan terakhir, harga jagung di pasar internasional terus naik. Kenaikan ini berdampak pada biaya produksi pakan ternak, yang artinya merupakan kabar tak sedap bagi emiten peternakan unggas alias poultry. Seperti dikutip Harian KONTAN 19 Maret 2014, Desianto Boedi Utomo, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT), menyebutkan, kenaikan harga jagung di pasar internasional bisa mengerek harga pakan unggas sekitar 5%-10%. Meski nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) menguat, nyatanya lonjakan harga jagung terus terjadi. Bila pada akhir 2013 harga jagung di bursa Chicago Board of Trade (CBOT) masih US$ 4,33 per gantang (setara dengan 25 kilogram), kini harganya sudah bertengger di level US$ 4,75 per gantang alias tumbuh 9,70%. Analis BNI Securities Dessy Lapagu mengatakan, kenaikan harga jagung tidak bisa diterka. "Secara jangka pendek, harganya fluktuatif," terang Dessy.
Beruntung nilai tukar rupiah kini terlihat menguat sehingga biaya produksi bisa ditekan. Namun, jika harga pakan ternak terus naik, emiten poultry mau tidak mau harus menaikkan harga. Managing Director Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe bilang, tahun ini emiten poultry terancam dampak kekeringan di Brasil. Padahal, Brasil selama ini pemasok pakan ternak di Indonesia. Namun, kata Dessy, alternatif pasokan pakan ternak datang dari AS dan Argentina. Inilah sebabnya, Dessy berharap ada upaya pemerintah untuk mendorong swasembada pertanian yang menyebabkan kebutuhan impor pakan ternak bisa ditekan. Pendapatan turun Dessy menyatakan, menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2012, kontribusi daging unggas mencapai 1,8 juta ton (67%) dari total produksi daging nasional yang sebesar 2,7 juta ton. Sifat konsumtif masyarakat perkotaan, terutama untuk makanan fast food yang memperoleh pasokan produksi dari sektor unggas lokal menjadi nilai tambah. Berdasarkan catatan Dessy, sejak awal tahun, masing-masing emiten poultry sudah menaikkan harga jual sekitar 5%.