KONTAN.CO.ID - TALAUD. Desa Nunu Utara terkenal sebagai satu-satunya wilayah penghasil emping melinjo di Kabupaten Kepulauan Talaud. Kiprahnya sudah terkenal hingga seantero pulau. Bahkan dalam beberapa kesempatan, empingnya sudah melanglang buana ke Pulau Nias hingga Papua. Pada tahun 1980an hingga 1990an, Desa Nunu Utara telah menerima permintaan melinjo hingga satu kontainer dalam waktu sebulan. Namun permintaan itu tidak bisa dipenuhi karena pohon melinjo hanya berbuah tiga kali dalam setahun, sehingga pasokannya terbatas. Ditambah pula desa ini hanya bisa mengandalkan pohon melinjo yang tumbuh di pekarangan warga. Meski begitu jangan dipandang sebelah mata. Sekali panen, desa ini dapat menghasilkan satu ton buah melinjo.
Kepala Desa Nunu Utara, Yulrima Trais Bawono bercerita, produksi melinjo di desanya didukung oleh tiga sanggar (kelompok binaan). Pada masa panen raya, setiap sanggar dapat menghasilkan 200 kilogram (kg) melinjo sehingga jika diakumulasi dari tiga kelompok, totalnya 600 kg.
Baca Juga: Perajin Pisang Abaka Ingin Taraf Hidup Meningkat dengan Jaringan Internet yang Kuat “Kemudian ada juga buah melinjo yang diproduksi oleh warga sendiri yang punya pohon di rumahnya. Kalau ditotal kami bisa memanen buah melinjo hingga satu ton saat masa panen,” ujarnya kepada Tim Jelajah Ekonomi Berkelanjutan KONTAN, Jumat (30/8). Yulrima teringat pada tahun 1992 ia mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi (Perindakop) untuk mengelola buah melinjo. Namun hingga kini, pengembangan produk melinjo di desanya belum banyak berubah. Alat produksi keripik melinjo sendiri masih menggunakan cara manual. Alas dari pohon kayu besi sebagai tempat menumbuk sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Begitu juga dengan palu sederhana untuk menggepengkan buah melinjo. Sehingga produksinya murni mengandalkan tenaga manusia. Di saat panen raya, mayoritas perempuan di desanya akan fokus mengolah melinjo. Kegiatan di sanggar akan dimulai pada jam 8 pagi hingga 4 sore. Namun di kondisi tertentu, pembuatan emping bisa dilakukan dari jam 7 pagi hingga 5 sore untuk mengejar produksi 2 kilogram dalam sehari. Melinjo yang sudah masak, harus segera diolah. Setelah lewat seminggu, warna melinjo akan berubah. Jika mau diawetkan, tidak bisa lebih dari tiga bulan karena rasanya akan berubah menjadi lebih pahit dan tidak bisa dimakan. “Penting sekali agar ada mesin khusus membuat emping, jadi produksinya lebih cepat. Selain itu hasil produksi juga belum bisa dikemas secara baik,” ujar Yulrima. Belum diproduksi masal saja, penjualan emping khas Talaud ini sudah dipasarkan di berbagai wilayah. Selain didistribusikan ke ibu kota Kepulauan Talaud, Melonguane, produk ini juga sudah tersebar ke Manado, Papua, hingga Nias. Harga keripik dalam bentuk mentah dijual pada kisaran Rp 80.000 hingga Rp 100.000 per kilogram. Menurut perhitungan KONTAN, di masa panen raya Desa Nunu Utara dapat menghasilkan omzet hingga Rp 80 juta hingga Rp 100 juta. Meski nominalnya terlihat besar, kalau dibagi pada masa kosong (tidak panen) selama berbulan-bulan, penghasilan itu belum cukup mensejahterakan.
Baca Juga: Menjajal Jaringan Telekomunikasi di Nusa Utara, Internet Stabil Jadi Harapan Warga “Kami berharap ada pupuk buah yang bisa meningkatkan produksi emping di Desa Nunu,” kata Yulrima. Selain persoalan produktivitas, penjualan emping Desa Nunu juga tidak bisa banyak berkembang karena minimnya wawasan berjualan
online. Sesekali produknya dijual secara digital, itupun hanya melalui Facebook. Masyarakat Nunu Utara sendiri belum banyak mengerti bagaimana cara menjual lewat
e-commerce. “Kami juga meminta bantuan agar bisa mendapatkan pelatihan berjualan
online dan promosi produk kami,” tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi