JAKARTA. Enam kontraktor kontrak kerja sama (KKS) menandatangani
joint account dana abandonment dan site restoration dengan BNI serta BRI. Empat kontraktor yang membuat
account di BNI adalah Karlez Petroleum, Kangean Energy, Medco Tarakan, serta Medco Rimau. Sementara Kondur Petroleum SA dan Pertamina EP membuat
account di BRI. Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Raden Priyono bilang jumlah dana yang disimpan di kedua bank BUMN tersebut sebesar US$ 60 juta.
"Ini bukan rekening liar. Karena penandatanganan perjanjian ini berdasarkan PP Nomor 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas dan Peraturan Menteri ESDM No 22/2008 tentang biaya-biaya yang tidak Cost Recovery," ujar Priyono, Rabu (24/12). Menurut Priyono, diutamakannya penggunaan perbankan dalam negeri dengan tujuan meningkatkan
balance of payment dan diharapkan menguntungkan kedua belah pihak. Terlebih, BP Migas telah mengeluarkan fatwa bahwa perusahaan migas wajib bertransaksi menggunakan perbankan yang beroperasi di dalam negeri, utamanya bank BUMN. "Kenapa BNI dan BRI yang dipilih karena ini merupakan hasil
beauty contest. Perusahaan migas tidak boleh menarik dananya sepanjang masa produksi," tambah Deputi Finansial dan Pemasaran BP Migas Djoko Harsono. Hardiono, Deputi Umum BP Migas bilang enam KKS tersebut sudah menarik dananya dari perbankan asing tempat mereka menaruh dana sebelumnya. Diantaranya HSBC dan American Bank. "Masing-masing mulai di transfer setelah perjanjian ini. Tapi ini untuk kontrak yang ditandatangani setelah 1994, kalau sebelum itu tidak wajib," kata Hardiono. Ditambahkannya, seluruh KKS nantinya harus memindahkan dananya yang untuk bertransaksi ke perbankan dalam negeri. Namun diakui Hardiono bahwa butuh waktu bagi perbankan dalam negeri untuk bisa mendapat kepercayaan KKS.
Catatan saja, dana
abandonment adalah sejumlah dana yang harus dicadangkan KKS untuk membongkar fasilitas operasi perminyakan saat akan meninggalkan wilayah kerja yang akan ditutup. Sementara dana
site restoration adalah dana yang dibutuhkan untuk tindakan pemulihan lingkungan di area tersebut. Kewajiban ini muncul pada KKS yang menandatangani kontrak setelah tahun 1994 saat Indonesia meratifikasi keputusan United Convention on Law of The Sea tahun 1958. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie