KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga kuartal I 2019, sebanyak 6 dari 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) yang direncanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memiliki kepastian soal
project owner. Kementerian ESDM menargetkan ke-12 proyek PLTSa ini dapat mulai beroperasi pada 2019 hingga 2022. Kepastian tentang enam PLTSa diungkapkan oleh Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Sutijastoto. Sutijastoto bilang hingga saat ini sudah ada enam PLTSa yang mendapatkan kepastian seputar
project owner dan satu PLTSa masih dalam proses pelelangan.
Enam kota yang telah memiliki kepastian PLTSa adalah Kota Palembang dengan PT Indo Green Power selaku operator, Provinsi Jakarta dengan PT Jakpro dan Fortum, Kota Surakarta dengan PT Solo Citra Metro Plasma Power, Kota Surabaya dengan PT Sumber Organik, Kota Bekasi dengan PT Nusa Wijaya Abadi serta Kota Denpasar dengan PT Indonesia Power dan PT Wijaya Karya. Selain keenam kota tersebut satu kota yang masih dalam tahap pelelangan adalah Kota Tangerang. "Lima kota lainnya akan segera melakukan pelelangan untuk mencari investor pada tahun 2019," ujar Sutijastoto, Sabtu (27/4). Kelima kota tersebut adalah Bandung, Tangerang Selatan, Semarang, Makassar dan Manado. Lebih lanjut, Sutijastoto bilang PLTSa yang telah mulai beroperasi adalah PLTSa Surabaya Unit-1 dengan kapasitas 2 MW yang berasal dari
Landfill Gas. Sementara itu, Unit-2 direncanakan akan beroperasi secara komersial pada akhir Semester II 2019 dengan kapasitas 9 MW menggunakan teknologi gasifikasi. Sedangkan PLTSa Kota Bekasi saat ini dalam tahap uji coba Unit-1 dengan kapasitas 1.5 MW, dan direncanakan pada Semester II 2019 akan mulai beroperasi secara komersial. Asal tahu saja, proyek PLTSa ini direncanakan mampu menghasilkan listrik hingga 234 megawatt dari sekitar 16 ribu ton sampah per hari. Berdasarkan laporan Kontan beberapa waktu lalu setiap PLTSa memiliki kapasitas yang beragam serta jam operasional yang berbeda. Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar. Biaya investasi yang dikucurkan di Surabaya sekitar US$ 49,86 juta dan bisa menyerap volume sampah sebesar 1.500 ton per hari. Masih di tahun ini, lokasi PLTSa kedua berada di Bekasi, yang memiliki nilai investasi sebesar US$ 120 juta dengan daya 9 MW. Sementara pada tahun 2021 bakal ada tiga pembangkit sampah yang berlokasi di Surakarta (10 MW), Palembang (20 MW) dan Denpasar (20 MW). Total investasi untuk menghasilkan setrum dari tiga lokasi yang mengelola sampah sebanyak 2.800 ton/hari sebesar US$ 297,82 juta. Setahun kemudian, yakni tahun 2022, pengoperasian PLTSa akan serentak berada di lima kota dengan investasi, volume sampah dan kemampuan kapasitas yang bervariasi. Kelima kota tersebut antara lain DKI Jakarta sebesar 38 MW dengan investasi US$ 345,8 juta, Bandung (29 MW - US$ 245 juta), Makassar, Manado dan Tangerang Selatan dengan masing-masing kapasitas sebesar 20 MW dan investasi yang sama, yaitu US$ 120 juta. Langkah pengembangan PLTSa ini sejalan dengan upaya pemerintah untuk meningkatkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% hingga 2025. Ketika ditanyai terkait keterlibatan investor Korea Selatan, Sutijastoto bilang segala proses lelang berlangsung di bawah naungan pemerintah kota. Namun, ia mengungkapkan pemerintah Korea Selatan melalui KEITI (Korea Environmental Industry & Technology Institute) sejauh ini terlibat dalam penyusunan
Pra-Feasibility Study (FS) di PLTSa Makassar dan PLTSa Tangerang Selatan. Sementara itu di kesempatan terpisah, Direktur Bisnis Regional Jawa Bagian Timur, Bali dan Nusa Tenggara PLN Djoko Rahardjo Abumanan bilang PLN telah membeli listrik dari PLTSa Surabaya jauh sebelum ada Peraturan Presiden nomor 35 tahun 2018 yang mengatur tentang
Power Purchase Agreement (PPA). "Terkait Surabaya saat ini sedang meminta amandemen berhubungan dengan aturan baru," ujar Djoko. Selain Surabaya Djoko menambahkan PLTSa Solo dan Bali sudah memasuki proses PPA. Sayangnya Djoko tak merinci kapan proses PPA tersebut berlangsung.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Seluruh Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang bilang asosiasi mendukung pengembangan PLTSa terutama lewat kehadiran Perpres. Namun ia menambahkan masih diperlukannya peraturan teknis terkait pengembangan PLTSa. "Masih diperlukan peraturan terkait mekanisme penentuan nilai tipping fee yang akan ditanggung APBN," ujar Arthur. Lebih lanjut Arthur menambahkan diperlukan kejelasan sikap PLN terutama terkait penentuan mekanisme
Build Own Operate and Transfer (BOOT) dari
Waste to Energy (WTE)
plant mana yang lebih baik bagi PLN. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi