Enam persoalan anggaran yang disorot Fitra pasca reformasi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasca reformasi ternyata Indonesia masih menghadapi banyak persoalan yang harus di selesaikan. Seperti penerimaan negara di hitung sangat rendah baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Hal-hal tersebutlah yang akhirnya membuka peluang korupsi penerimaan negara.

Itu merupakan salah satu dari enam persoalan yang diteliti oleh Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), dari pasca reformasi, dan berhenti di tahun 2015.

Sekjen Seknas Fitra Yenny Sucipto mengatakan, hampir dua tahun ini, penerimaan yang di targetkan tidak sesuai dengan target yang di inginkan oleh kementerian keuangan.


Padahal, kalau bicara soal penerimaan negara, ini adalah memberikan ruang fiskal agar tidak ada independensi negara Indonesia terhadap negara lain artinya tidak menarik utang, ataupun hibah.

“Ini seharusnya senada dengan trisakti yang menjadi bagian dari tujuan pembangunan era Jokowi. Tapi harus dilihat juga apakah utang itu warisan dari pemerintahan sebelumnya,” ujarnya saat di temui di Jakata, Minggu (27/5).

Saat itu lima persoalan yang menjadi kelemahan APBN dari tahun 2015 dan beberapa hal masih terjadi saat ini adalah Pertama adalah APBN selalu di desain defisit. “Ini memberikan kesempatan adanya inefisiensi dan praktik koruptif,” kata dia.

Dia menjelaskan, dalam desain yang defisit itu selain ada in efisiensi dan praktik koruptif, di luar Itu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi ketergantungan kepada pihak lain. Sehingga setiap tahunnya jika Indonesia membayar utang, maka Indonesia menarik utang untuk pinjaman proyek dan program.

Kedua, desain APBN yang saat ini di pahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber daya ekonomi, tapi APBN tidak di mengerti juga sebagai instrumen ideologi untuk mendekatkan tujuan negara sebagai amanat konstitusi.

“Hal ini untuk mencapai tujuan negara dalam konstitusi kita, kontrak politik antara negara dan rakyat,” tambahnya.

Ketiga, asumsi ekonomi makro yang di susun hanya mendasarkan pada tujuan sempit. Misalnya saja pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tapi malah mengabaikan semangat keadilan sosial. Selain itu, seperti aspek ketimpangan pendapatan.

Menurutnya, pemerintah memang telah memasukkan asumsi kemiskinan dan pengangguran tapi penghitungannya dilakukan menggunakan standar yang sangat rendah.

“Itu biasa di lakukan, dan penyusunnya siapa? Kementerian keuangan. Hal ini menjadi PR yang cukup berat ke depannya bagaimana kemudian merubah atau mereformasi penyusunan APBN yang lebih baik,” jelasnya.

Lalu, ada juga soal gini ratio masa kepemimpinan jokowi tahun 2016, masih menggunakan hal tersebut, namun pada tahun 2017 malah tidak digunakan. Yenny mengkritik, seharusnya gini ratio konsisten digunakan, karena ini berbicara tentang kesenjangan antar wilayah.

Kemudian, keempat besaran alokasi anggaran belum mencerminkan permasalahan dan konseptualisasi dasar pembangunan nasional.

Memang, SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) membicarakan tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang terintegrasi, terarah dan terpadu, tapi nyatanya memang konteks wilayah itu belum muncul.

“Hal ini karena asumsi makro ekonomi dasar Indonesia masih berbicara soal kuantitatif, pertumbuhan, inflasi, rupiah dan lifting minyak, gas. Tanpa ada gini ratio, tanpa melihat nilai tukar petani,” tambahnya.

Terakhir, yakni mengoptimalkan peran BUMN dalam perekonomian nasional. Keterlibatan BUMN yang besar dalam ekonomi setidaknya dapat menciptakan tiga hal, yakni tersedianya pelayanan publik yang memadai oleh negara, menciptakan lapangan pekerjaan, dan meningkatkan kontribusi BUMN pada penerimaan negara.

“Pilar ekonomi kerakyatan seperti BUMN itu di bangun atau diarahkan sebagai produksi, distribusi dan industrialisasi, seharusnya seperti itu,” tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto