Industri berbiaya tinggi menjadi bilah bermata dua saat nilai rupiah melemah terhadap dollar AS seperti sekarang. Harga barang produksi yang sebagian bahan bakunya impor tidak kompetitif di pasar. Sedangkan, negara eksportir melakukan banyak hal, antara lain mendevaluasi mata uangnya agar mereka mendapat tempat di pasar. Alhasil, kalangan industri dalam negeri harus menghadapi tantangan ini. Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan tekanan ke kalangan industri semakin terasa. Kendati ongkos produksi lebih mahal, pengusaha menahan diri menaikkan harga jual karena daya beli masyarakat yang dianggap rendah. Apa saja kekhawatiran Enny, wartawan KONTAN Lamgiat Siringoringo mewawancarainya. Berikut nukilannya: KONTAN: Apa saja dampak rupiah yang tertekan dan harga minyak dunia ke makro ekonomi dalam negeri? ENNY: Dampaknya sangat besar terutama terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Kebutuhan pangan memiliki konten impor yang cukup banyak. Jelas kondisi ini akan terkena tekanan rupiah. Begitu juga dengan kenaikan minyak dunia. Sekalipun, misalnya, pemerintah berkomitmen tidak menaikkan harga BBM bersubsidi, namun harga BBM industri pasti akan naik. Jika harga bahan bakar naik, itu akan mempengaruhi harga produksi dan dibebankan ke harga jual. Begitu juga dengan pangan, volume impor makin meningkat. Di negara kita, tingkat konsumsi komoditas pangan impor seperti kedelai dan gandum sangat besar. Selain itu, ada efek-efek psikologis yang sebenarnya tidak berkaitan dengan bahan baku impor, akan ikutan naik. Artinya, kalau dulu tahun 1997–1998 harga yang naik itu yang terkait dengan BBM industri saja, sedangkan harga pangan relatif tidak naik karena ketergantungan impor belum setinggi sekarang. Nah, kenaikan harga karena efek psikologis ini yang perlu dikhawatirkan lantaran memicu imported inflation. KONTAN: Tetapi inflasi kita rendah dan sejauh ini harga di pasar cukup stabil? ENNY: Memang inflasi stabil, demikian pula harga pangan. Namun, jangan lupa bahwa harga stabil itu adalah stabil yang tinggi. Tarif listrik memang tidak naik, tetapi itu sebenarnya sudah cukup membebani. Anggap saja UMP Rp 3 juta. Satu rumah tangga per bulan untuk listrik Rp 300.000 sampai Rp 400.000 itu kan 10% dari UMP. Dilihat dari data BPS, penghasilan menengah ke bawah itu sudah habis untuk pangan. Artinya, sudah tidak ada anggaran untuk membeli lagi dari penghasilan. Di lain pihak, inflasi memang rendah. Harga itu ada dua faktor, permintaan dan supply. Kalau permintaan rendah, tidak mungkin harga naik. Lebih lagi untuk kebutuhan non-pokok. Makanya inflasi yang rendah itu belum tentu menunjukkan tidak adanya tekanan. Justru itu berarti karena permintaan tidak ada. Makanya inflasi di tiga tahun terakhir itu rendah, namun belanja rumah tangga selalu turun. KONTAN: Kalau dampak ke sektor industri? ENNY: Kalau kondisi begini terus, industri kita semakin lemah dan terpuruk. Lebih dari 50% bahan baku industri makanan minuman itu impor. Jadi, mereka pasti akan babak belur. Garmen akan terancam karena banyak bahan baku impor. Lantas industri otomotif pun masih mengandalkan impor untuk komponennya. Banyak industri kita bergantung dari impor. Itu yang pertama. Yang kedua, daya saing kita juga semakin menurun. Secara teori, kalau barang impor harganya naik, seharusnya barang kita bisa bersaing. Namun karena dipicu
high cost economy, barang impor malah mengancam produk lokal. Orang memilih impor, terutama dari China lantaran pemerintah China mendevaluasi Yuan. Jadi, kalau kita lihat sektor industri dan pelemahan rupiah ini ada dua sisi. Dari sisi konsumen mengancam soal harga dan dari sisi produsen, kalah bersaing dengan impor. KONTAN: Liburan panjang Lebaran tidak menolong? ENNY: Daya beli masyarakat itu sudah tidak ada. Makanya industri akan terpukul, mau menaikkan harga jadi berapa pun. Musim lebaran kemarin menjadi gambaran. Setiap ada momen lebaran, tidak disuruh pun masyarakat akan belanja. Walau tak punya uang, mereka akan membeli dengan terpaksa mengutang. Dengan adanya potensi ini, daya beli juga tidak terdongkrak. Ini terbukti dari mana? Terlihat dari laporan ritel, kenaikannya sangat kecil. Terjadi pelemahan daya beli. KONTAN: Pengusaha kan melakukan efisiensi, apakah tidak bisa mengurangi dampak dari rupiah anjlok? ENNY: Pengusaha pasti melakukan efisiensi, berbagai macam akan dilakukan. Namun pengusaha mengatakan kami ini selalu efisien. Masalahnya, sekarang sumber efisiensi berasal dari luar, misalnya berbagai pungutan, pajak dan high cost economy lainnya. Makanya, efisiensi dari pengusaha ini harus diimbangi kebijakan pemerintah yang mendukung. Di AS dan negara lain, memang suku bunga dinaikkan, tapi pajaknya diturunkan. Indonesia tidak punya kemewahan itu, lantaran pemerintah harus mengejar target pajak. Nah, sebenarnya penerimaan ini bisa dioptimalkan tanpa harus menekan sektor riil. Jangan sampai berburu di kebun binatang. KONTAN: Dampak terparah dari kondisi industri yang terus tertekan? ENNY: Jika penjualan mereka terus turun dan tidak menutup pengeluaran, pemutusan hubungan kerja PHK itu memang pilihan terakhir. Tapi, kan pengusaha tidak ingin melakukan PHK. Di lain pihak, pemerintah memang perlu turun tangan. KONTAN: Apakah kondisinya sudah serius? ENNY: Kalau seluruh industri merasakan tekanan, maka ini akan berdampak serius. Penurunan dari industri sudah terjadi di mana-mana, misalnya di industri otomotif. Gabungan industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menargetkan tahun ini target penjualan domestik 1,1 juta unit, naik tipis 1,9% dibanding periode tahun lalu yang sebanyak 1,07 juta unit. Dari angka ini terlihat kalau penjualan mobil rendah. Padahal, selain pelemahan rupiah dan berbagai masalah tadi, industri otomotif juga menghadapi kompetisi dari negara produsen mobil di Asia Tenggara, Thailand dan Vietnam. Mereka semakin agresif dan protektif dalam kebijakan impor mobil dan suku cadang. Saat harus bersaing, iklim usaha dalam negeri kurang mendukung industri otomotif. Misalnya, bahan baku komponen kendaraan masih yang tergantung impor. Begitu juga manufaktur. Pertumbuhan sektor manufaktur dari tahun ke tahun kian melambat dari 6,26% di 2011 menjadi 4,27% di 2017. Saya melihat industri dirugikan dua kali. Ongkos produksinya meningkat dan daya saingnya menurun. Belum lagi sektor ritel yang sudah cukup tertekan karena masalah daya beli. KONTAN: Jadi apa yang perlu dilakukan pemerintah? ENNY: Melihat ekonomi Indonesia ini seperti orang sakit, dengan penyebab yang tidak terlihat. Ini seperti sakit demam. Demam itu hanya dampaknya, penyebabnya bisa karena tifus atau diare. Jadi, pemerintah harus memastikan kondisi apa yang dihadapi, dari situasi yang tidak pasti sehingga bisa memberikan obat yang pas. Memang soal pelemahan rupiah ini karena faktor eksternal seperti kebijakan Amerika, banyak negara yang juga mengalami. Tetapi ada faktor pendorong pula dari dalam negeri, apa yang disebut
current account deficit lalu neraca perdagangan defisit. Maka, Pemerintah harus dapat membuat dana asing itu nyaman dan betah di dalam negeri. Makanya bisa dilihat saat BI menaikkan suku bunga 100 basis poin, tetapi rupiah masih tetap tertekan. Artinya bukan hanya itu obatnya. Kalau mau menyembuhkan, kenaikan suku bunga itu ibaratnya hanya menghilangkan demam itu saja. Yang lebih penting adalah bagaimana memperbaiki defisit neraca perdagangan kita. Tentu saja bukan ranah BI, tetapi pemerintah. Bagaimana bisa memacu pertumbuhan industri kita untuk bisa mencari substitusi impor dan menggenjot ekspor, termasuk melihat kebijakan-kebijakan struktural yang dianggap menghambat daya saing dan pertumbuhan industri dalam negeri kita. KONTAN: Kebijakan LTV bisa menjadi bantalan untuk menggerakkan ekonomi akibat kenaikan suku bunga? ENNY: Sekalipun
down payment-nya diturunkan, bunganya tinggi, tetap saja angsurannya akan tinggi. Padahal porsi penghasilan masyarakat itu menurun. Memang akan membantu, tapi dampaknya tidak terlalu besar. Apalagi sekarang masyarakat fokus memenuhi kebutuhan pokok. Jadi perlu ada kebijakan lain meningkatkan industri dalam negeri. ◆ Biodata
Riwayat pendidikan: ■ Sarjana Ekonomi (SE) Fakultas Ekonomi jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro Semarang ■ Magister Sains (MSi) dari Program Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN), Konsentrasi Pembangunan dan Kebijakan Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor ■ Doktor Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Konsentrasi Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor Riwayat pekerjaan: ■ Tenaga Ahli Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) ■ Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta ■ Peneliti INDEF (Institute For Development of Economics and Finance), Jakarta ■ Direktur Eksekutif Indef **
Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Tabloid KONTAN 9 Juli- 15 Juli 2018. Selengkapnya silakan klik link berikut: "Ibarat Demam, Harus Diobati Penyakitnya" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga