Equator Sandera Bisnis Benny Tjokro



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana hanya tinggal rencana. PT Hanson International Tbk (MYRX) terpaksa harus menahan hasrat menghantarkan cucu usahanya, PT Harvest Time menjual sebagian sahamnya ke publik alias initial public offering (IPO).

Seperti diberitakan Harian KONTAN pada 23 Januari 2018, Benny Tjokrosaputro selaku Direktur Utama Hanson mengungkapkan bahwa Harvest Time akan melepas 15% sahamnya kepada publik. Dari aksi IPO itu, Harvest, kata Benny, bisa meraup dana berkisar Rp 300 miliar hingga Rp 500 miliar.

“Diperkirakan menggunakan laporan keuangan September 2017. Jadi (Harvest Time) akan listing sebelum Maret 2018,” ucap Benny, 22 Januari silam. Harvest juga sudah memberi mandat bagi PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk dan PT Jasa Banda Garta Sekuritas sebagai penjamin dan pelaksana emisi.


Harvest  Time bersama afiliasinya, PT Armidian Karyatama, dan induk usahanya, PT Mandiri Mega Jaya (MMJ) yang merupakan anak usaha langsung Hanson, sudah sejak 6 September 2013 menandatangani kerjasama dengan PT Citra Benua Persada (CBP), anak usaha PT Ciputra Development Tbk (CTRA).

Kolaborasi itu membidani lahirnya usaha bersama (joint operation) Citra Maja Raya. Laporan keuangan Hanson per 30 September 2017 menyatakan, Citra Maja Raya dibentuk untuk mengembangkan kawasan hunian dan properti komersial di lahan milik Armidian Karyatama dan Harvest Time.

Berdasarkan perjanjian itu, Armidian Karyatama dan Harvest Time wajib menyediakan tanah dalam keadaan siap dikembangkan dengan luas keseluruhan 430 hektare (ha) yang terletak di Kecamatan Maja, Lebak Banten. Sedangkan CBP berkewajiban mengelola, mengembangkan tanah, menyediakan technical know how dan dukungan keuangan untuk proyek tersebut.

Namun Harvest kini menghadapi persoalan pelik. Pemicunya adalah gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel) dengan nomor perkara 250/Pdt.G/2016/PN JKT.SEL. Para penggugat terdiri dari tiga pihak. Masing-masing adalah PT Equator Majapura Raya, yang dahulu bernama PT Cubamakarya Griya Taruna, PT Equator Kartika, PT Equator Satria Land Develoment.

Dalam gugatan yang didaftarkan oleh Grup Equator sejak 14 April 2016 itu, Harvest Time duduk menjadi tergugat kedua. Sedang tergugat pertama adalah Maria Sofiah alias Sopiah. Selain Maria dan Harvest, ada sejumlah tergugat lain, semisal Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Lebak dan sejumlah kepala daerah di Banten. Isi tuntutan para penggugat di antaranya adalah menuntut pengadilan menyatakan sah atas perbuatan para penggugat dalam transaksi jual-beli 1.584 bidang tanah seluas kurang lebih 581,94 ha yang dilaksanakan pada tahun 1997. Tanah itu terletak di enam desa, terdiri dari desa Curug Badak, Mekarsari, Padasuka, Pasir Kembang, Buyut Mekar, dan Cidadap.

Pada 28 Desember 2017 PN Jaksel memenangkan para penggugat. Dalam keputusannya, PN Jaksel juga menyatakan para penggugat merupakan pembeli yang beritikad baik dan perlu mendapat perlindungan hukum. Selain itu, hakim PN Jaksel menyatakan bahwa jual-beli atas lahan seluas 581,94 ha yang dilaksanakan pada tahun 1997 adalah sah.

Tidak hanya itu, pengadilan menyatakan Kepala Kantor Pertanahan Lebak Banten telah melanggar hukum. Dus menghukum Maria dan Harvest Time membayar kerugian materiil para penggugat senilai Rp 1,16 triliun secara tanggung renteng.

Tidak puas dengan putusan PN Jakarta Selatan, para tergugat pun mengajukan banding. Proses penyelesaian kasus tanah inilah yang menyebabkan rencana IPO Harvest Time menjadi tidak pasti.

Pada kunjungan ke kantor KONTAN 28 Februari silam, Rony Agung Suseno, Direktur PT Hanson International Tbk menyatakan tidak tahu kapan IPO Harvest akan berlanjut. “Kalau sudah persoalan seperti ini, kadang memakan waktu dua hingga tiga tahun,” beber Rony.

Meski telah bersengketa dengan Grup Equator sejak 14 April 2016, namun pihak Hanson tidak mencantumkan pemaparan kasus tersebut dalam laporan keuangan yang terakhir dirilis pada September 2017. Penjelasan terhadap kasus tersebut ada dalam keterbukaan informasi yang dirilis oleh Hanson pada 14 Maret 2018 setelah Bursa Efek Indonesia (BEI) menanyakan persoalan tersebut kepada Hanson.

Melebar ke PN Rangkasbitung

Saat proses banding atas putusan PN Jaksel sedang berlangsung, muncul gugatan di PN Rangkasbitung oleh Benny Tjokro terhadap Maria Sophia, atau Sofiah, atau Sopiah, yang didaftarkan pada 28 Maret 2018. Gugatan ini yang menjadi alasan M. Fajar Mariantony, yang menjabat sebagai direktur di tiga perusahaan milik Equator, meragukan itikad baik Harvest menyelesaikan proses banding di PN Jaksel.

Equator menilai obyek yang menjadi sengketa di PN Rangkasbitung, sebagian juga merupakan miliknya sesuai putusan PN Jakarta Selatan. Meskipun, putusan itu masih dalam tahap banding. “Kalau itu gugatan atas barang yang sama dengan yang disengketakan di PN Jaksel, jelas kami khawatir,” tukas Tony kepada KONTAN di kantor Grup Equator di Jalan Kertanegara, Kebayoran Baru, Kamis (17/5).

Terlebih lagi kepada media sebelumnya, kata Tony, Benny menyatakan tidak mengenal Maria Sopiah. “Lalu kenapa Pak Benny sekarang menuntut Maria Sopiah atas persoalan tanah di antara mereka di PN Rangkasbitung?” imbuh Tony.

Agus A. Aziz Managing Partner dari A.A. Aziz & Partners Law Firm, yang merupakan kuasa hukum Equator, menyatakan, akan mengajukan gugatan intervensi dalam kasus di PN Rangkasbitung itu. Agus menuturkan, bentuk intervensi yang diajukan adalah tussenkomst. Ini berarti Equator masuk dalam perkara ini karena barang miliknya disengketakan atau diperebutkan oleh Harvest dan Maria Sopiah.

Agus menekankan, intervensi tersebut dilakukan Equator agar tidak ada putusan yang saling bertentangan dan mengurangi kepastian hukum. “Dalam gugatan intervensi ini, kami juga akan meminta ganti rugi kepada Harvest Time dan ibu Maria Sopiah secara tanggung renteng. Dengan rincian ganti rugi materiil senilai Rp 2,27 triliun ditambah immateriil Rp 300 miliar,” terang Agus.

Agus menerangkan, dalam gugatan intervensi itu, Harvest Time akan menjadi tergugat intervensi I, Maria Sopiah tergugat intervensi II dan Ketua BPN Lebak sebagai tergugat intervensi III. Berkas gugatan intervensi itu sudah dikirimkan ke Harvest Time, Maria Sopiah dan BPN pada 23 Mei 2018 lalu. Mereka, lanjut Agus, oleh majelis hakim PN Rangkasbitung diberikan kesempatan mengajukan tanggapan atau jawaban pada sidang berikutnya pada hari Rabu (30/5).

Namun pengacara Benny, Bob Hasan dari Kantor Pengacara Bob Hasan & Partners, menegaskan, gugatan pihaknya tersebut tidak ada hubungannya dengan materi kasus di PN Jaksel yang kini sedang dibanding. “Ini soal pemberkasan yang belum lengkap dan klarifikasi dari bu Maria yang belum ada,” terang Bob, saat ditemui KONTAN di Hotel Ibis Cikini, Selasa (22/5) malam. Bob menambahkan, gugatan di PN Rangkasbitung juga mencakup tanah milik Hanson seluas 955 ha di Lebak. Dari seluruh tanah itu, sebanyak 98 bidang tanah, atau setara 5 ha, diklaim Maria sebagai miliknya.

Prahara Program Kota Kekerabatan Maja

Yang menarik, sosok Maria yang menjadi tokoh sentral dalam perseteruan hukum di antara Grup Equator dan Harvest Time, justru samar-samar. Tidak banyak keterangan tentang wanita yang kini berusia 67 tahun itu.

Adapun Grup Equator memiliki izin lokasi di wilayah yang disengketakan sejak 1995. “Awalnya, pada 1995. Saat itu, Pak Akbar Tanjung yang merupakan Menpera, mencanangkan pendirian Kota Kekerabatan Maja,” terang Tony.

Sejak itu, lanjut Tony, tiga perusahaan grup Equator memberikan kuasa kepada Maria untuk membebaskan lahan sekaligus mengurus sertifikatnya. Dalam perjalanannya, Maria dituding melakukan wanprestasi karena tidak mempertanggungjawabkan penggunaan dana dari Equator dalam pembebasan lahan.

“Hingga akhirnya pada tahun 1997 kami mencabut kuasa atas Maria, dan langsung kami sampaikan hal ini kepada BPN dan Bupati Lebak,” ujar Tony. Badai krisis tahun 1998, menyebabkan rencana Grup Equator mengembangkan properti di Lebak terhenti.

Hingga kemudian, lanjut Tony, grup Equator mengetahui lahan yang dimilikinya tiba-tiba berpindah tangan kepada  Hanson pasca melantai di bursa saham. Tony bilang, ternyata pada tahun 1999, Maria disebut-sebut telah mengambil semua berkas tanah yang telah dibebaskannya dari BPN Lebak. Mengetahui hal itu, Equator pun melaporkan Maria ke pihak kepolisian Surabaya.

Namun uraian pihak Equator dibantah Bob. Dia menyatakan, Maria tidak pernah diminta oleh Equator untuk membebaskan lahan. “Dia hanya diminta mengurus izin lokasi. Dan, itu harus diurus setiap dua tahun sekali,” timpal Bob.

Namun izin lokasi itu, menurut Bob, tidak pernah diperpanjang lagi oleh Equator sejak 1997. “Baru saat Harvest hendak IPO, mereka lantas menggugat. Ke mana mereka selama ini?” ujar Bob.

Kebetulan, Maria pernah bekerja di bisnis milik kerabat Benny. “Mungkin karena itu kemudian Maria menawarkan jasa kepada Pak Benny,” imbuh Bob. Oleh sebab itu, Bob menilai Equator sama sekali tidak memiliki alas hak atas tanah-tanah yang kini dimiliki Harvest.