KONTAN.CO.ID - Wakil Ketua DPR Fadli Zon berteriak lantang. Tangannya menggenggam erat palu sidang. “Apakah Rancangan Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (RUU PNBP) bisa disetujui menjadi undang-undang (UU)?” teriak dia. Sebanyak 289 anggota dewan yang ada di dalam Ruang Rapat Paripurna DPR kompak berteriak: Setuju! Tok! Fadli mengetok palu.
Maka, 26 Juli lalu, RUU PNBP resmi ditetapkan sebagai undang-undang. Calon beleid itu menggantikan UU Nomor 20/1997 yang dianggap sudah tidak relevan lagi diterapkan di zaman sekarang. Sebelum disetujui jadi RUU usul inisiatif pemerintah, rancangan aturan ini telah melewati proses harmonisasi di Badan Legislasi DPR. Beberapa perbaikan substansi maupun redaksional dilakukan. Alhasil, begitu RUU PNBP ditetapkan menjadi UU tidak dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) lantaran bertabrakan dengan konstitusi RI. Pemerintah dan DPR memang sangat berhati-hati, mengingat sejak awal bergulir di Senayan, pembahasan RUU itu sudah menuai banyak kontroversi. Menurut Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), beleid itu dirancang buat mendongkrak kinerja PNBP, khususnya dari sektor sumber daya alam (SDA). Salah satu poin penting yang Yusri soroti adalah, pemberian wewenang menteri untuk menentukan tarif PNBP di instansinya, cukup melalui sebuah peraturan menteri (permen). Beda dengan UU lama, penetapan tarif harus lewat peraturan pemerintah (PP). Poin yang memberi kewenangan menteri itu tertuang dalam Pasal 8 yang berbunyi: karena sering mengalami perubahan, tarif PNBP yang telah ditetapkan PP bisa diubah dengan permen setelah berkoordinasi dengan menteri atau pimpinan lembaga terkait. Sekalipun begitu, Yusri tetap meminta pemerintah tidak semena-mena menentukan tarif maupun objek PNBP baru. “Jangan sampai kontradiktif dengan paket kebijakan ekonomi pemerintah yang ingin memberikan kemudahan bagi para pengusaha,” ujar Yusri. Direktur PNBP Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemkeu) Mariatul Aini membenarkan, pemerintah memang tetap ingin mengoptimalkan penerimaan PNBP dari sektor SDA. “Tapi jangan khawatir, kami tetap memperhatikan kondisi dunia usaha, tarif tidak boleh terlalu tinggi sehingga menghambat dunia bisnis,” katanya. Pembebasan pungutan Selain mengincar kenaikan PNBP dari SDA, lewat UU yang baru, pemerintah juga berupaya menggenjot penerimaan di bidang layanan dasar masyarakat, seperti pendidikan dan kesehatan. Upaya ini terlihat dari penentuan objek PNBP yang termaktub dalam Pasal 3: objek pungutan nonpajak meliputi seluruh aktivitas, hal, benda yang jadi sumber penerimaan di luar pajak dan hibah. Objek itu meliputi pelaksanaan pemerintahan, penggunaan dana APBN, pengelolaan kekayaan negara, hingga penetapan peraturan perundang-undangan. Nah, di kategori pelaksanaan pemerintahan, UU PNBP yang anyar menambah objek pungutan nonpajak, misalnya, kesehatan, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial. Namun di sisi lain, beleid tersebut juga memperluas opsi keringanan berupa pengurangan dan pembebasan PNBP. Pasal 59 UU ini menyatakan, pembayar PNBP bisa mengajukan permohonan keringanan jika menghadapi kondisi kahar. Contohnya, diputus pailit pengadilan dan kesulitan likuiditas. Mereka bisa meminta keringanan berupa penundaan pembayaran, pengangsuran, pengurangan, hingga pembebasan pembayaran PNBP. Permohonan keringanan itu bukan hanya untuk pelaku usaha, juga berlaku bagi masyarakat yang menerima layanan dari negara. Ada beberapa layanan negara yang sudah digratiskan bagi penduduk kurang mampu, semisal pelajar, mahasiswa, dan sektor usaha kecil menengah (UKM). “Contoh, menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) sudah nol rupiah. Pelajar dan mahasiswa berprestasi dapat beasiswa,” sebut Aini. Pertimbangan menggratiskan PNBP bagi layanan pemerintah adalah, supaya bisa memberi keadilan dan kesetaraan, pemerataan pelayanan, serta sesuai kemampuan masyarakat. “Dari layanan, memang PNBP-nya sekecil mungkin, sebatas untuk keperluan biaya pemberian layanan,” ungkap Aini. Pemerintah menyadari, pungutan PNBP ini menjadi beban masyarakat. Karena itu, dengan UU yang baru, pemerintah akan melakukan evaluasi tiap pungutan biar tidak membebani masyarakat. “Pungutan harus dikaitkan dengan kualitas perbaikan layanan ke masyarakat dan tidak semata-mata cari keuntungan,” imbuh Aini. Meskipun dalam praktiknya nanti sebagian instansi memiliki badan layanan umum (BLU) untuk mengoptimalkan PNBP, bukan berarti pemerintah ingin menggenjot semua lini setoran. Pemerintah bakal memantau agar BLU tidak jor-joran menarik pungutan ke warga. Selain soal pungutan, UU PNBP yang anyar juga mempertegas sanksi bagi wajib bayar yang lalai atau sengaja menghindari pembayaran, termasuk membayar lebih kecil dari ketentuan. Di aturan lama, sanksinya berupa pidana penjara paling lama setahun dan denda maksimal dua kali dari PNBP terutang. Nah, di beleid baru, sanksinya ialah pidana penjara paling singkat dua tahun dan maksimal enam tahun, serta denda sebanyak empat kali dari PNBP yang terutang. Selain itu, Pasal 68 menyebutkan, wajib bayar yang sengaja tidak memberikan dokumen, keterangan, atau bukti lain yang dimiliki, bisa kena denda paling banyak Rp 1 miliar atau pidana penjara maksimal setahun. Ini juga berlaku bagi yang memberi dokumen, keterangan, atau bukti yang tidak benar. Anggota Komisi XI Misbakhun bilang, UU PNBP yang baru akan mendorong kementerian dan lembaga pemerintah melakukan penyempurnaan tata kelola dan evaluasi PNBP. Sehingga, negara punya strategi dalam pengelolaan SDA. Beleid itu juga berfungsi sebagai bantalan dalam menopang penerimaan negara secara total dalam APBN untuk pembiayaan pembangunan nasional.
Nah, target PNBP di APBN 2018 mencapai Rp 275,4 triliun, naik 5,8% dari realisasi pada 2017. Porsi kenaikan terbesar berasal dari sektor minyak dan gas bumi (migas) yang kebetulan harganya sedang naik. Tahun lalu, pos itu juga jadi penyumbang terbesar dengan porsi 36,7% dari total PNBP yang sebanyak Rp 260,2 triliun. Selamat datang era baru pengelolaan PNBP. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan