Tingkat inflasi Indonesia bulan Oktober 2017 kembali tercatat rendah, yaitu 0,01% (mtm) atau 3,58% (yoy). Tingkat inflasi tersebut jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata inflasi Oktober tiga tahun terakhir yang sebesar 0,18% (mtm). Padahal, selama semester I-2017 tingkat inflasi cenderung naik hingga akhirnya di Juni mencapai tingkat tertinggi yakni 4,37% (yoy). Beberapa faktor yang mendorong kenaikan tingkat inflasi selama semeter I-2017, diantaranya harga yang diatur pemerintah (administered price), seperti biaya STNK, tarif dasar listrik (TDL) 900 VA, meningkatnya permintaan saat bulan Ramadhan, serta terdapat waktu libur sekolah di pertengahan tahun. Namun, keadaan sebaliknya terjadi di semester II-2017, yaitu penurunan tingkat inflasi konsisten terjadi sejak awal semester II. Penundaan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), gas subsidi 3 kg, listrik untuk 450 VA, serta terjaganya harga pangan (volatile foods) diperkirakan sebagai faktor penyebab terus menurunnya tingkat inflasi selama semester II-2017.
Tantangan tingkat inflasi di semester II-2017 hanya akan terjadi di bulan terakhir (November dan Desember) seiring peningkatan demand karena terdapat waktu libur sekolah, perayaan hari keagamaan, imported inflation akibat melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, penyesuaian harga BBM non subsidi karena kenaikan harga komoditas internasional, serta target penyerapan anggaran pusat dan daerah. Apabila faktor pendorong tingkat inflasi tersebut masih dapat dikendalikan oleh pemerintah dan otoritas moneter maka tingkat inflasi di akhir tahun 2017 akan bergerak di sekitar 3,5% atau bahkan mendekati 3,0%. Dus, tiga tahun berturut-turut tingkat inflasi Indonesia dapat dikendalikan sekitar 3% dan merupakan pencapaian pemerintah dan otoritas moneter yang luar biasa. Rendahnya tingkat inflasi beberapa tahun terakhir dapat menjadi sebuah tanda bahwa Indonesia telah memasuki era baru tingkat inflasi. Tingkat inflasi sudah tidak di atas pertumbuhan ekonomi atau terjaga di sekitar 3% saja. Pencapaian tersebut dinilai atas keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan faktor produksi (supply side) seperti pasokan bahan makanan, melancarkan distribusi barang, mengelola harga produksi, mengatur harga pangan (seperti daging, beras, gula, dan lainnya), serta menunda kenaikan administered price tahap berikutnya di semester II-2017. Dengan tingkat inflasi yang terjaga maka daya beli masyarakat diharapkan dapat meningkat. Terjaganya tingkat inflasi akan membuat daya beli masyarakat tetap tinggi tidak tergerus oleh kenaikan harga. Namun, bisa saja tingginya inflasi tidak dapat menurunkan daya beli masyarakat yaitu ketika diimbangi kenaikan pendapatan riil (real income). Rendahnya tingkat inflasi juga dapat menekan suku bunga. Penurunan suku bunga akan menurunkan biaya bunga atau modal perusahaan seiring rendahnya biaya pinjaman dan obligasi. Alhasil, perusahaan dapat ekspansi usaha sehingga investasi meningkat. Meningkatnya investasi, khususnya padat karya, dapat menyerap tenaga kerja dengan jumlah besar sehingga dapat mendorong konsumsi dan ekonomi. Mengingat persentase konsumsi terhadap total perekonomian mencapai 55% atau jauh lebih besar bila dibandingkan dengan pengeluaran pemerintah (9%) dan Investasi (30%) dengan terdorongnya konsumsi maka target pertumbuhan pemerintah pun dapat mudah dicapai. Faktor lain Dengan dikendalikannya harga barang oleh pemerintah, misal dengan menetapkan harga eceran tertinggi (ceiling price) di beras, daging, gula, dan lainnya, seharusnya terdapat kelebihan permintaan (excess demand) di masyarakat. Kenaikan permintaan tidak hanya untuk barang yang diatur, disisi lain juga bisa berdampak kepada barang pendukung (complementary). Namun, terjaganya tingkat inflasi karena dikendalikannya beberapa harga sepertinya tidak dapat meningkatkan permintaan di barang tersebut atau barang pendukung. Saat ini, kondisi masyarakat cenderung menahan konsumsi dan menambah tabungan yang telah terindikasi di Survei Konsumen Bank Indonesia bulan Oktober 2017. Survei tersebut menunjukkan rata-rata pendapatan masyarakat untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) menurun 0,7% dari bulan sebelumnya menjadi 65,7%. Sebaliknya, porsi tabungan terhadap pendapatan (saving to income ratio) naik 1,0% menjadi 20,2%. Selain itu, Survei Penjualan Eceran Bank Indonesia mengindikasikan bahwa secara tahunan, penjualan eceran di September 2017 tumbuh melambat. Indeks Penjualan Riil (IPR) September 2017 tercatat 201,2 padahal di Juni 2017 mampu mencapai 232,4. Indeks ritel kelompok makanan mengalami pelemahan pertumbuhan menjadi 7,6% (yoy) dari sebelumnya 7,9% (yoy) sedangkan kelompok non makanan mengalami kontraksi semakin dalam dari -5,9% (yoy) menjadi -6,2% (yoy) di September 2017. Pada survei tersebut juga diperkirakan penurunan IPR akan berlanjut di bulan Oktober 2017 menjadi 200,6. Tertahannya konsumsi masyarakat yang tercermin dari Survei Konsumen dan Survei Penjualan Eceran juga tercermin di tingkat pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran, yaitu komponen pengeluaran konsumsi masyarakat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2017 rata-rata pertumbuhan konsumsi masyarakat hanya sebesar 4,93% atau konsisten tumbuh di bawah 5,0%. Padahal pada tahun 2012 tingkat konsumsi masyarakat masih mampu tumbuh sebesar 5,49% dan 5,15% di tahun 2014.
Melihat indikator diatas, perlu antisipasi apabila penurunan tingkat inflasi yang terjadi beberapa tahun terakhir lebih disebabkan karena tertahannya konsumsi akibat tertekan daya beli (demand side) daripada terkendalinya harga produksi (supply side). Penurunan tingkat inflasi seperti beriringan dengan penurunan tingkat konsumsi masyarakat. Padahal seperti yang diketahui bersama bahwa tidak ikut terdorongnya daya beli masyarakat ketika harga-harga lebih terkendali dapat membuat perekonomian mengalami pertumbuhan ekonomi yang stagnan. Tingkat inflasi yang stabil dan terukur lebih diharapkan bukan yang serendah-rendahnya. Pada umumnya rendahnya tingkat inflasi dapat menjadi indikator bahwa perputaran roda perekonomian rendah akibat menurunnya konsumsi masyarakat yang disebabkan turunnya daya beli masyarakat (purchasing power). Semoga era baru tingkat inflasi ini bukan disebabkan oleh lemahnya daya beli (demand side) namun memang diakibatkan terkendalinya harga produksi (supply side) seiring efektifnya program yang dijalankan pemerintah dan otoritas moneter. Dengan demikian, masih tertahannya konsumsi yang di survei sifatnya hanya sementara sehingga dapat segera pulih. Kedepan diharapkan era baru tingkat inflasi dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi