Jakarta. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI rate sebanyak lima kali dalam enam bulan terakhir pasti berdampak ke perusahaan-perusahaan besar. Sebagian dari mereka sudah merasakan pahitnya kenaikan bunga kredit bank setelah BI rate merangkak naik. Kelik Irwantono, Sekretaris Perusahaan PT BW Plantation Tbk, mengungkapkan, kenaikan bunga pinjaman dari perbankan terjadi saat BI naik sebesar 25 basis poin menjadi 7,5%. “Dua kreditor utama kami, Bank Nasional Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) langsung menaikkan suku bunga kreditnya hingga 50 basis poin,” ungkap Kelik.Sebelumnya, bunga kredit yang dikenakan dua bank pelat merah itu kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit bersandi BWPT tersebut hanya 10% per tahun, sekarang naik menjadi 10,5% setahun. Kenaikan ini, sudah barang tentu membebani BWPT karena biaya perusahaan ikut naik. Buat industri kelapa sawit, kenaikan BI rate menambah sentimen negatif. Sebab, “Harga minyak kelapa sawit (CPO) belum rebound sejak melorot tajam sekitar dua tahun lalu,” kata Kelik.Hingga September 2013, posisi utang BWPT masih cukup besar yakni sekitar Rp 3,5 triliun. Dari total utang tersebut, porsi pinjaman perbankan mencapai Rp 2,8 triliun. Sebagian besar berasal dari BNI dan BRI. Menurut Kelik, tiap bulan perusahaannya menyisihkan dana sebesar Rp 100 miliar hingga Rp 150 miliar untuk membayar utang dan bunga. Angka ini tentu saja akan bertambah seiring dengan kenaikan suku bunga kredit.Kondisi yang sama juga menimpa sektor properti. Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso mengatakan, kenaikan BI rate memperparah kondisi perusahaan properti. Soalnya, sebelum BI rate naik, perusahaan properti sudah tertekan dengan kebijakan loan to value (LTV) yang memperketat pemberian kredit untuk rumah kedua. Tidak mengherankan, sejak akhir Mei 2013 hingga pekan lalu saat BI rate terkerek ke level 7,5%, indeks saham sektor properti telah merosot hingga 37,75%.Setyo berharap dampak kenaikan bunga kredit terhadap sektor properti hanya bersifat sementara. Yang tidak adil adalah, kalau suku bunga acuan diturunkan, bank-bank justru tidak segera memangkas suku bunganya,” keluh Setyo.Nah, meskipun pertumbuhan sektor properti akan melemah, rasa optimistis masih tampak dari PT Ciputra Property Tbk. Direktur dan Sekretaris Perusahaan Ciputra, Artadinata Djangkar, menyatakan, kenaikan BI rate tidak akan mengganggu bisnis properti perusahaannya. “Segmen konsumen kami dari kalangan kelas atas yang lebih kebal terhadap kebijakan suku bunga tinggi dibandingkan perusahaan properti yang menyasar kalangan menengah,” ujarnya. Seperti diketahui, produk utama CTRP adalah perkantoran dan kondominium mewah di Jakarta.Ada yang bisa bertahanAlasan lainnya, persentase pembeli apartemen besutan Ciputra dengan kredit pemilikan apartemen terbilang rendah, berkisar antara 10%–15% dari keseluruhan.Tahun ini, target penjualan Ciputra mencapai Rp 2,3 triliun atau tumbuh tipis dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu sebesar Rp 2,1 triliun. Tahun depan, Artadinata belum mau mengungkapkan target penjualan produk properti perusahaannya.Adapun korporasi di industri tekstil rata-rata masih bisa bertahan. Sebab, perusahaan tekstil skala besar kebanyakan menikmati pinjaman dari luar negeri yang memberi bunga lebih rendah dari bank di Indonesia. Perusahaan tekstil kebanyakan menikmati pinjaman dari bank di Singapura. Pasalnya, rata-rata perusahaan tekstil skala besar berorientasi ekspor. “Saat ini mereka juga ikut tertolong karena mereka menerima rupiah lebih banyak dari sebelumnya,” tutur Ade Sudrajad, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia.Ade menuturkan, kenaikan BI rate memukul perusahaan yang meminjam uang di bankbank dalam negeri, lantaran selisih atawa spread bunga kredit bank dengan BI rate mencapai dua kali alias dobel. Dengan BI rate sekarang sebesar 7,5%, maka bunga kredit korporasi ada di level 15% per tahun. “Makanya, sekarang dibilang zaman tidak normal, karena spread kredit bank dobel. Normalnya di luar negeri 2%–3% dari suku bunga acuan,” kata Ade.Tentu, perusahaan besar harus punya jurus mengurangi tekanan dari kenaikan bunga kredit. BWPT, misalnya, akan memperketat ongkos produksi dan menaikkan produksi CPO. Tahun ini, target produksi BWPT tidak berubah yakni sebanyak 160.000 ton, atau naik 23% dari pencapaian tahun 2012 sebesar 130.000 ton.BWPT juga mencari alternatif pembiayaan melalui utang nonbank. Tahun ini, mereka melakukan penambahan modal lewat penerbitan saham baru tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Jumlah saham baru yang diterbitkan sebanyak 405,1 juta atau setara 10% dari modal disetor. Keuntungan dari private placement ini, BWPT bakal kebal dari kenaikan bunga kredit bank.Sedangkan Ciputra Property akan mengurangi pembangunan proyek baru dan memaksimalkan pre-sales. Ciputra belum memutuskan untuk menaikkan harga jual seandainya bunga bank naik lagi. Alasannya, persaingan usaha di sektor properti sudah sangat ketat.Bagi perusahaan besar memang tersedia cukup banyak pilihan untuk tetap bertahan. Pilihan ini tidak dimiliki perusahaan menengah kecil.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 9 - XVIII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Era bunga bank yang tidak normal
Jakarta. Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) alias BI rate sebanyak lima kali dalam enam bulan terakhir pasti berdampak ke perusahaan-perusahaan besar. Sebagian dari mereka sudah merasakan pahitnya kenaikan bunga kredit bank setelah BI rate merangkak naik. Kelik Irwantono, Sekretaris Perusahaan PT BW Plantation Tbk, mengungkapkan, kenaikan bunga pinjaman dari perbankan terjadi saat BI naik sebesar 25 basis poin menjadi 7,5%. “Dua kreditor utama kami, Bank Nasional Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) langsung menaikkan suku bunga kreditnya hingga 50 basis poin,” ungkap Kelik.Sebelumnya, bunga kredit yang dikenakan dua bank pelat merah itu kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit bersandi BWPT tersebut hanya 10% per tahun, sekarang naik menjadi 10,5% setahun. Kenaikan ini, sudah barang tentu membebani BWPT karena biaya perusahaan ikut naik. Buat industri kelapa sawit, kenaikan BI rate menambah sentimen negatif. Sebab, “Harga minyak kelapa sawit (CPO) belum rebound sejak melorot tajam sekitar dua tahun lalu,” kata Kelik.Hingga September 2013, posisi utang BWPT masih cukup besar yakni sekitar Rp 3,5 triliun. Dari total utang tersebut, porsi pinjaman perbankan mencapai Rp 2,8 triliun. Sebagian besar berasal dari BNI dan BRI. Menurut Kelik, tiap bulan perusahaannya menyisihkan dana sebesar Rp 100 miliar hingga Rp 150 miliar untuk membayar utang dan bunga. Angka ini tentu saja akan bertambah seiring dengan kenaikan suku bunga kredit.Kondisi yang sama juga menimpa sektor properti. Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Setyo Maharso mengatakan, kenaikan BI rate memperparah kondisi perusahaan properti. Soalnya, sebelum BI rate naik, perusahaan properti sudah tertekan dengan kebijakan loan to value (LTV) yang memperketat pemberian kredit untuk rumah kedua. Tidak mengherankan, sejak akhir Mei 2013 hingga pekan lalu saat BI rate terkerek ke level 7,5%, indeks saham sektor properti telah merosot hingga 37,75%.Setyo berharap dampak kenaikan bunga kredit terhadap sektor properti hanya bersifat sementara. Yang tidak adil adalah, kalau suku bunga acuan diturunkan, bank-bank justru tidak segera memangkas suku bunganya,” keluh Setyo.Nah, meskipun pertumbuhan sektor properti akan melemah, rasa optimistis masih tampak dari PT Ciputra Property Tbk. Direktur dan Sekretaris Perusahaan Ciputra, Artadinata Djangkar, menyatakan, kenaikan BI rate tidak akan mengganggu bisnis properti perusahaannya. “Segmen konsumen kami dari kalangan kelas atas yang lebih kebal terhadap kebijakan suku bunga tinggi dibandingkan perusahaan properti yang menyasar kalangan menengah,” ujarnya. Seperti diketahui, produk utama CTRP adalah perkantoran dan kondominium mewah di Jakarta.Ada yang bisa bertahanAlasan lainnya, persentase pembeli apartemen besutan Ciputra dengan kredit pemilikan apartemen terbilang rendah, berkisar antara 10%–15% dari keseluruhan.Tahun ini, target penjualan Ciputra mencapai Rp 2,3 triliun atau tumbuh tipis dibandingkan dengan pencapaian tahun lalu sebesar Rp 2,1 triliun. Tahun depan, Artadinata belum mau mengungkapkan target penjualan produk properti perusahaannya.Adapun korporasi di industri tekstil rata-rata masih bisa bertahan. Sebab, perusahaan tekstil skala besar kebanyakan menikmati pinjaman dari luar negeri yang memberi bunga lebih rendah dari bank di Indonesia. Perusahaan tekstil kebanyakan menikmati pinjaman dari bank di Singapura. Pasalnya, rata-rata perusahaan tekstil skala besar berorientasi ekspor. “Saat ini mereka juga ikut tertolong karena mereka menerima rupiah lebih banyak dari sebelumnya,” tutur Ade Sudrajad, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia.Ade menuturkan, kenaikan BI rate memukul perusahaan yang meminjam uang di bankbank dalam negeri, lantaran selisih atawa spread bunga kredit bank dengan BI rate mencapai dua kali alias dobel. Dengan BI rate sekarang sebesar 7,5%, maka bunga kredit korporasi ada di level 15% per tahun. “Makanya, sekarang dibilang zaman tidak normal, karena spread kredit bank dobel. Normalnya di luar negeri 2%–3% dari suku bunga acuan,” kata Ade.Tentu, perusahaan besar harus punya jurus mengurangi tekanan dari kenaikan bunga kredit. BWPT, misalnya, akan memperketat ongkos produksi dan menaikkan produksi CPO. Tahun ini, target produksi BWPT tidak berubah yakni sebanyak 160.000 ton, atau naik 23% dari pencapaian tahun 2012 sebesar 130.000 ton.BWPT juga mencari alternatif pembiayaan melalui utang nonbank. Tahun ini, mereka melakukan penambahan modal lewat penerbitan saham baru tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Jumlah saham baru yang diterbitkan sebanyak 405,1 juta atau setara 10% dari modal disetor. Keuntungan dari private placement ini, BWPT bakal kebal dari kenaikan bunga kredit bank.Sedangkan Ciputra Property akan mengurangi pembangunan proyek baru dan memaksimalkan pre-sales. Ciputra belum memutuskan untuk menaikkan harga jual seandainya bunga bank naik lagi. Alasannya, persaingan usaha di sektor properti sudah sangat ketat.Bagi perusahaan besar memang tersedia cukup banyak pilihan untuk tetap bertahan. Pilihan ini tidak dimiliki perusahaan menengah kecil.***Sumber : KONTAN MINGGUAN 9 - XVIII, 2013 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News