KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketidakpastian menyelimuti pasar modal dan keuangan Indonesia. Meski begitu, sejumlah instrumen investasi ini dinilai tetap prospektif. Research and Consulting Manager Infovesta Utama, Nicodimus Anggi Kristiantoro mengatakan, salah satu ketidakpastian dari hasil pemilihan presiden Amerika Serikat (AS). Salah satu dampak dari kemenangan Trump potensi peningkatan tarif impor sebesar 20%, yang kemungkinan kebijakan itu akan dikenakan juga ke Indonesia. Karenanya, potensi ekspor Indonesia turun, tetapi penurunannya dinilai tidak terlalu besar, yakni 24%. Sementara negara lainnya bisa mencapai 50%, bahkan China diprediksi mencapai 80%.
Di sisi lain, pasar juga mesti waspada terkait risiko peningkatan inflasi AS yang sudah mulai terlihat dalam dua bulan terakhir dari posisi September.
Baca Juga: Kinerja IDX BUMN20 Masih Lesu, Simak Rekomendasi Sahamnya "Kami lihat bahwa risiko dari akselerasinya inflasi itu bisa kembali meningkat," ujarnya dalam webinar
Navigating Trump 2.0: Opportunities and Risk for Indonesia’s Financial Markets secara virtual, Selasa (12/11). Namun demikian, berdasarkan risetnya, kenaikan inflasi AS di tahun 2025 belum terlihat signifikan saat ini. Penerapan tarif dagang tersebut baru akan diberlakukan pada kuartal IV 2025. Sehingga, jika tarif dagang diterapkan itu tidak mengganggu pergerakan selama setahun ke depan dari Januari sampai Oktober dan baru terasa signifikan di 2026.
Baca Juga: Pasar Bergolak Setelah Trump Menang, Mirae Asset Turunkan Target IHSG ke 7.585 Dari kondisi itu, instrumen investasi apa yang prospektif? Nico berpandangan saham dan obligasi tetap menarik ketika dimulainya Trump 2.0. Untuk saham, ada empat sektor yang bisa menjadi pertimbangan.
Pertama, perbankan dan keuangan karena merupakan cerminan makro ekonomi domestik. "Investor mempersepsikan ekonomi masih tumbuh sehingga akan mendorong sektor perbankan dan keuangan," sebutnya.
Kedua, sektor energi, khususnya minyak dan gas karena isu kebijakan Trump yang pro batubara. Ditambah, jika perekonomian China mulai pulih akan mendorong permintaan batubara.
Ketiga, pertanian dan perkebunan. Menururt Nico, ketika ada kebijakan proteksionisme di AS maka negara-negara yang impor dari AS bisa beralih ke Indonesia, mengingat pertanian dan perkebunan Indonesia sangat kaya.
Keempat, pariwisata karena kebijakan Trump dan Prabowo yang mengakomodir turis untuk melancong ke negeri masing-masing. "Juga dengan relasi yang cukup dekat antara Prabowo dan Trump diharapkan bisa memberi arti lebih untuk sektor pariwisata," katanya.
Baca Juga: Musim Dividen Interim Perbankan Tiba, Ini Bisa Jadi Pemanis Saham Bank Yang Loyo? Lanjut Nico, Indeks Harga Saham Gabungan (
IHSG) masih
undervalue dibandingkan beberapa indeks saham global lainnya. Dia mengartikan hal itu bahwa investor asing bisa masuk terus ke pasar saham Indonesia. Periode Januari-Oktober 2024, asing mencatat
net buy sebesar Rp 38,38 triliun. Nico memproyeksikan nilai itu akan bertambah, khususnya di Desember diiringi penurunan suku bunga acuan dan
window dressing. Dari pasar obligasi, tren
credit default swap (CDS) Indonesia melandai. Per Oktober 2024 berada di 69,94 dan per Senin (11/11) CDS Indoensia di 68. Beriringan,
yield SUN acuan 10 tahun juga bergerak turun. Penurunan
yield berpotensi berlanjut, setidaknya hingga kuartal III 2025 seiring pemangkasan suku bunga acuan. Dengan skenario
bullish, dia memperkirakan
yield obligasi negara Indonesia acuan tenor 10 tahun berada di 6,5%. Nico juga melihat tren kepemilikan asing terus meningkat dari Mei-Oktober 2024. "Kami harapkan net buy bisa terus terjadi di November dan Desember seiring turunnya CDS Indonesia," sebutnya.
Apalagi dari riil Indonesia lebih tinggi dari kompetitor, yakni 5,07%. Sementara kompetitor berada di rentang 0,17%-4%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati