JAKARTA. Kementerian Perdagangan (Kemdag) berencana mengatur tata niaga impor telepon seluler (ponsel). Nantinya, pemerintah hanya akan memberikan izin impor ponsel kepada perusahaan yang memiliki hubungan istimewa dengan principal atau pemegang merek utama. Kemdag bakal merilis aturan teknis pada Mei atau Juni nanti. PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), yang menggeluti bisnis perdagangan ponsel, tentu akan terkena aturan baru itu. Djatmiko Wardoyo, Marketing Communications Director Erajaya Group (ERAA), mengaku, pemberlakuan aturan tersebut, bisa membatasi peredaran ponsel ilegal. Dan, manajemen ERAA mendukung aturan itu. "Kami masih menunggu dan mengkaji rincian aturan baru ini," ujarnya.
Sebagai pemain lama di distribusi ponsel dan produk terkait, ERAA memiliki lima anak perusahaan. Kelima anak usaha ERAA itu memegang izin distribusi 10 merek ponsel dari luar negeri dan satu merek sendiri. ERAA mengimpor ponsel melalui tiga anak usahanya. Merek-merek ponsel yang diimpor Erajaya Swasembada adalah merek Nokia dan Teletama Artha Mandiri (TAM) menjadi distributor BlackBerry, Samsung, Sony Mobile, Huawei dan Serena. Melalui PT Sinar Eka Selaras (SES), ERAA memegang hak distribusi merek Apple, Acer, Dell, Motorola, dan LG. ERAA juga memiliki perusahan yang menangangi bisnis ritel, yaitu PT Erafone. Ada juga anak usaha yang khusus mengurus bisnis operator seluler yaitu Prakarsa Prima Sentosa dan Data Media Telekomunikasi. Lewat dua bendera ini, ERAA menjadi distributor bagi operator Telkomsel, XL, Axis, dan Esia. Djatmiko mengklaim, hingga akhir 2011, ERAA sudah memiliki outlet ritel sebanyak 279 unit. "Hingga kuartal pertama ini sudah bertambah menjadi lebih dari 300 outlet," ujarnya. Selain itu mereka juga memiliki 86 titik distribusi dan lebih dari 17.000 jaringan reseller yang tersebar di seluruh Indonesia. Kinerja bertumbuh Sepanjang tahun ini, ERAA menargetkan bisa menambah setidaknya 60 outlet ritel. Emiten ini berencana akan menambah enam unit outlet premium bernama Erafone Megastore. Masing-masing outlet memiliki luas lahan sekitar 350 meter persegi (m2). Untuk membiayai agenda ekspansnyai, ERAA menganggarkan belanja modal atau capital expenditure (capex) sebesar US$12 juta untuk tahun ini. "Penggunaan capex difokuskan ke pengembangan outlet ritel dan titik distribusi," tukas Djatmiko. Djatmiko mengklaim, pangsa pasar atau market share ERAA mencapai 24% pada tahun 2010. "Untuk tahun ini kami masih menghitung, tapi yang pasti target kami mempertahankan posisi sebagai distributor ponsel terbesar di Indonesia," tegas Djatmiko. Berbagai agenda ekspansi menjadi alasan manajemen untuk memasang target pendapatan sebesar Rp 10,8 triliun selama tahun ini. Tahun lalu, ERAA meraih pendapatan sebesar Rp 6,89 triliun. Itu berarti, ERAA menargetkan pertumbuhan pendapatan sebesar 56,74% year-on-year.
Pasalnya, tahun ini TAM sudah bisa berkontribusi secara penuh terhadap kinerja ERAA. Tahun lalu, kontribusi TAM hanya berlangsung dalam empat bulan terakhir di 2011. "Karena ERAA baru mengakuisisi TAM waktu itu," jelas Djatmiko. Pertumbuhan pengguna ponsel yang masih besar membuat manajemen ERAA optimistis kinerja di tahun ini bisa cemerlang. Mengutip riset lembaga survei Frost and Sullivan, orang Indonesia cenderung mengganti ponsel dalam 11-17 bulan. Itu untuk kategori basic phone. Sementara untuk smartphone, umurnya lebih pendek lagi, yakni sekitar 8-14 bulan. Belum lagi tarif pulsa makin kompetitif serta merek ponsel yang kian beragam membuat pasar ponsel makin melebar. Harga ERAA, Rabu (16/5) ditutup melemah 3,73%, menjadi Rp 1.550 per saham. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Edy Can