KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir ingin perusahaan plat merah tetap menyetor dividen dengan jumlah jumbo ke pemerintah. Target itu turut mempertimbangkan potensi penurunan laba bersih BUMN tahun ini akibat adanya pelemahan harga komoditas hingga efek restrukturisasi. Erick menggambarkan lonjakan keuntungan BUMN yang signifikan, dari laba bersih Rp 124 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 303 triliun sepanjang tahun lalu. Hanya saja, Erick memberikan catatan, jumlah laba bersih tersebut termasuk posisi
non-cash sekitar Rp 60 triliun akibat dari efek restrukturisasi. Erick optimistis laba bersih BUMN bisa terjaga di level Rp 250 triliun. "Tahun ini, dikurangi
restructuring macem-macem itu, tetap konsisten di angka Rp 250 triliun, bisa kita jaga. Karena ada pelemahan komoditas, ada kompleksitas lain, kita juga harus mulai konservatif jangan sampai kita terlalu agresif," mengutip Erick dalam siaran YouTube CNBC Indonesia, Jum'at (1/9).
Dari estimasi laba bersih sekitar Rp 250 triliun itu, Erick meyakini BUMN bisa menjaga pembayaran dividen di rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni mencapai Rp 80,6 triliun. "Kayaknya aman, itu kita jaga, karena ini kan turbulence," imbuh Erick.
Baca Juga: Investasi Taspen di Reksadana dan Saham pada Akhir Tahun 2022, Turun Dua Digit Emiten Bank Masih Jadi Tumpuan Founder dan CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto menyoroti dengan estimasi laba bersih mencapai Rp 250 triliun, maka target dividen BUMN senilai Rp 80,6 triliun masih memungkinkan dicapai. Syaratnya, rata-rata dividen payout ratio BUMN tetap terjaga di level 30%-35%. Fendi mengamati sejumlah BUMN yang berpotensi memberi kontribusi besar, seperti PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), Pupuk Indonesia, hingga Pelindo. Sedangkan untuk BUMN yang menjadi perusahaan terbuka, emiten bank masih menjadi tumpuan. Terutama bank berkinerja stabil dan posisi modal kuat seperti PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI). Bersama ketiga emiten bank big cap itu, ada PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) yang konsisten mencetak laba jumbo. Di sisi lain, ada juga emiten plat merah yang kinerjanya membukukan rapor merah. Seperti BUMN Karya, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS), dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA). "Ini bisa memberikan kontribusi negatif terhadap pencapaian laba konsolidasian BUMN," kata Fendi kepada Kontan.co.id, Minggu (3/9). CEO Edvisor Profina Visindo Praska Putrantyo menimpali, rotasi sektor yang terjadi tahun ini juga bisa mengganjal kinerja laba dan porsi dividen BUMN. Terutama dari sisi emiten komoditas tambang dan energi yang pada tahun lalu meraih berkah dari lonjakan harga komoditas. Adapun, sepanjang tahun 2022 emiten dari sektor perbankan dan komoditas energi menjadi penopang dengan pembayaran dividen tertinggi. "Untuk tahun 2023, diperkirakan ada pergeseran pada emiten yang berbasis komoditas energi, karena terdampak melandainya harga komoditas," kata Praska. Dia pun mengamati tren kinerja kuartal IV-2022 hingga kuartal II-2023. Dari sampel 23 emiten BUMN, ada 10 emiten yang mengalami penurunan kinerja, khususnya dari pos laba bersih dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Handiman Soetoyo menambahkan, penurunan kinerja emiten energi seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sulit terhindarkan. Pada saat yang sama, kontribusi dari BUMN Karya dan KRAS masih belum bisa diharapkan. Namun, kinerja dari TLKM, PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR), dan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) masih cukup apik. Handiman sepakat, bank tetap akan menjadi tumpuan dengan kontribusi yang bisa mencapai 50% terhadap total dividen. Hanya saja, perlu dicermati juga perkembangan wacana aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terhadap pembagian dividen bank. "Asalkan wacana aturan dividen bank dari OJK tidak benar-benar menghambat membagikan dividen, selama bank itu sudah sangat sehat dan memiliki CAR memadai," terang Handiman.
Baca Juga: Punya Prospek Positif, Analis Rekomendasikan Saham BUMN Unggulan Ini Dengan mempertimbangkan harga saat ini, Handiman memprediksi yield BBRI dan BMRI bisa di atas 5%. Kemudian dividen yield emiten big cap lainnya, yakni TLKM bisa di atas 4%. Meski kinerja merosot, tapi Handiman memprediksi PTBA masih menebar dividen jumbo. Alasannya, harga batubara tahun ini masih mampu bercokol di atas US$ 100 per ton. Walau jauh di bawah rekor harga tahun lalu, tapi level harga saat ini tetap lebih tinggi dibandingkan rata-rata historis 10 tahun terakhir. Handiman memprediksi yield PTBA masih bisa di atas 10%. Sedangkan yield PGAS di atas 8%. "ANTM, JSMR dan SMGR juga lumayan besar, walaupun tidak setinggi bank, PGAS dan PTBA," imbuh Handiman.
Sebagai pertimbangan investasi, Handiman merekomendasikan hold untuk saham BBRI dan BMRI. Target harga masing-masing ada di level Rp 6.000 dan Rp 6.300 per saham. BMRI dan BBRI juga menjadi saham pilihan Praska. Selain itu, ada saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM). Catatan Praska, sebaiknya menerapkan buy on weakness untuk saham bank karena harga sudah melaju kencang. "Investor cenderung sudah priced in dengan prospek kinerja keuangan," kata Praska. Dari sisi pembagian dividen, Fendi menjagokan saham BBRI, BMRI, BBNI dan TLKM. Selanjutnya, saham PTBA juga masih menarik untuk dikoleksi. "Punya track record dan potensi pembagian dividen stabil dan cukup tinggi bagi investor," tandas Fendi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .