DUMAI. Apa yang ditakutkan produsen biodiesel akhirnya terjadi juga. Mulai Selasa (28/5) kemarin, Uni Eropa resmi menerapkan bea masuk antidumping terhadap produk biodiesel dari beberapa perusahaan asal Ibu Pertiwi. Seperti dikutip Bloomberg, Komisi Eropa menyatakan biodiesel Indonesia yang dijual ke Eropa jauh lebih murah dibanding biaya produksi perusahaan. Dengan begitu, bea masuk anti dumping biodiesel efektif berlaku Rabu (29/5). Bea masuk antidumping itu diberlakukan selama enam bulan dan dapat diperpanjang menjadi lima tahun. Selain produsen Indonesia, produsen biodiesel Argentina juga mengalami nasib sama.
Bea masuk antidumping yang dikenakan pada masing-masing produsen bervariasi. Paling tinggi sebesar 10,6% atau € 104,92, setara US$ 135,46 per metrik ton (MT). Produsen biodiesel Indonesia yang terkena bea masuk itu antara lain PT Musim Mas, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Wilmar Nabati Indonesia, dan Wilmar Bioenergi Indonesia. Masing-masing perusahaan itu akan terkena tambahan bea masuk antara 2,8%-9,6%. Segera banding Tudingan dumping dan subsidi dilakukan Komisi Uni Eropa pada awal tahun ini. Eropa mengaku telah menemukan bukti praktik dumping biodiesel dan menimbulkan kerugian di industri di sana. Pemerintah Indonesia sendiri telah membantah tudingan itu. Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan Ernawati mengatakan, subsidi bahan bakar biodiesel Rp 2.000-Rp 3.000 diberikan jika harga biodiesel lebih mahal daripada bahan bakar minyak (BBM). "Selama ini subsidi belum pernah digunakan karena harga biofuel masih lebih rendah daripada harga BBM," katanya. Tudingan dumping dan pemberian subsidi menjadi kasus terpisah yang dilaporkan Uni Eropa. Jika keputusan tuduhan dumping keluar bulan ini, keputusan tuduhan subsidi keluar Agustus 2013. Atas keputusan Uni Eropa itu, produsen biodiesel mengaku akan segera banding. "Perusahaan yang terkena anti dumping boleh mengajukan banding," kata Togar Sitanggang Senior Manager Musim Mas, Selasa (28/5). Togar bilang, Musim Mas menjual biodiesel sesuai peraturan perdagangan yang berlaku. Harga ekspor berpatokan pada harga internasional, sementara harga domestik disesuaikan pasar terutama harga Pertamina. Togar khawatir ekspor biodiesel makin tertekan dengan tuduhan subsidi. Apalagi biodiesel juga akan terkena bea masuk 6,5% pada 2014 karena Generalized System of Preferences (GSP) atau tarif preferensial negara maju ke negara berkembang dihapuskan. Terhadap keputusan itu, Hendra Gondawidjaja, General Marketing Permata Hijau Group, induk Pelita Agung Agrindustri mengatakan, Indonesia perlu mempertanyakan landasan pengenaan anti dumping tersebut.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) bilang, pengenaan bea masuk anti dumping belum akan berpengaruh banyak pada kinerja ekspor biodiesel Indonesia. "Dengan tambahan bea masuk itu, harga biodiesel masih bisa berkompetisi dengan minyak nabati lain seperti soya oil," ujarnya. Saat ini ekspor biodiesel Indonesia rata-rata 1,2 juta ton per tahun. Dari jumlah itu sekitar 60% dipasarkan ke Uni Eropa, sisanya ke Korea dan Jepang. Harga biodiesel masih lebih murah sekitar US$ 180 per ton, dibandingkan harga minyak kedelai. Agar kinerja ekspor tidak terganggu, Sahat mengusulkan agar bea keluar biodiesel di bebaskan. Saat ini dengan penerapan bea keluar minyak sawit mentah (CPO) sebesar 9%, maka BK biodiesel mencapai 2%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Uji Agung Santosa