KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah resmi mempercepat larangan ekspor bijih nikel atau nikel ore yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono menyampaikan salah satu pertimbangan percepatan larangan ekspor nikel ini untuk mendukung pengembangan industri kendaraan listrik. Baca Juga: Asosiasi berikan tanggapan beragam atas larangan ekspor bijih nikel Ia bilang saat ini perkembangan teknologi sudah semakin maju dan mampu mengolah nikel kadar rendah menjadi komponen baterai. "Yang intinya nikel dapat menghasilkan komponen yang berguna untuk bahan baku baterai dalam rangka percepatan mobil listrik," ungkapnya, Senin (2/9). Meski masih dalam rencana, sambungnya, sudah ada beberapa perusahaan yang berminat merambah mengembangkan fasilitas pemurnian dengan teknologi hydrometalurgi. Adapun perusahaan itu seperti, Huayue Bahodopi di IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dengan kapasitas input 11 juta ton bijih nikel per tahun. "Kapasitas output 60.000 ton Ni per tahn dan 7.800 ton cobalt," ujarnya. Baca Juga: Harga nikel naik, analis sebut saham Central Omega Resources (DKFT) menarik Nilai investasi dari proyek ini sebesar US$ 1,28 miliar yang dijadwalkan mulai kontruksi pada 2020 dan rampung pada 2021. Kedua ada proyek milik PT QMB New Energy Material yang berlokasi di Bahodopi IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Proyek pemurnian ini nantinya memiliki kapasitas input sebesar 5 juta ton bijih nikel per tahun, kapasitas output 50.000 ton Ni per tahun, dan 4.000 ton cobalt per tahun dengan nilai investasi US$ 998,47 juta. Selanjutnya ada proyek dari PT Harita Prima Abadi Mineral atas nama PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) dengan salah satu pemilik saham Harita Group yakni PT Trimegah Bangun Persada.
ESDM akui larangan ekspor nikel untuk amankan bahan baku baterai mobil listrik
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah resmi mempercepat larangan ekspor bijih nikel atau nikel ore yang akan mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bambang Gatot Ariyono menyampaikan salah satu pertimbangan percepatan larangan ekspor nikel ini untuk mendukung pengembangan industri kendaraan listrik. Baca Juga: Asosiasi berikan tanggapan beragam atas larangan ekspor bijih nikel Ia bilang saat ini perkembangan teknologi sudah semakin maju dan mampu mengolah nikel kadar rendah menjadi komponen baterai. "Yang intinya nikel dapat menghasilkan komponen yang berguna untuk bahan baku baterai dalam rangka percepatan mobil listrik," ungkapnya, Senin (2/9). Meski masih dalam rencana, sambungnya, sudah ada beberapa perusahaan yang berminat merambah mengembangkan fasilitas pemurnian dengan teknologi hydrometalurgi. Adapun perusahaan itu seperti, Huayue Bahodopi di IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah dengan kapasitas input 11 juta ton bijih nikel per tahun. "Kapasitas output 60.000 ton Ni per tahn dan 7.800 ton cobalt," ujarnya. Baca Juga: Harga nikel naik, analis sebut saham Central Omega Resources (DKFT) menarik Nilai investasi dari proyek ini sebesar US$ 1,28 miliar yang dijadwalkan mulai kontruksi pada 2020 dan rampung pada 2021. Kedua ada proyek milik PT QMB New Energy Material yang berlokasi di Bahodopi IMIP Industrial Park, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Proyek pemurnian ini nantinya memiliki kapasitas input sebesar 5 juta ton bijih nikel per tahun, kapasitas output 50.000 ton Ni per tahun, dan 4.000 ton cobalt per tahun dengan nilai investasi US$ 998,47 juta. Selanjutnya ada proyek dari PT Harita Prima Abadi Mineral atas nama PT Halmahera Persada Lygend (PT HPL) dengan salah satu pemilik saham Harita Group yakni PT Trimegah Bangun Persada.