KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan Indonesia membutuhkan 10 juta ton sampah biomassa per tahun untuk co-firing demi mencapai target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% di 2025. Sebagai informasi, teknologi co-firing akan memanfaatkan biomassa sebagai substitusi parsial batubara untuk dibakar di boiler pembangkit listrik. Biomassa ini dapat diperoleh dari beragam bahan baku, seperti limbah hutan, perkebunan, atau pertanian. Pemanfaatan limbah biomassa dapat mengurangi emisi metana yang disebabkan oleh degradasi limbah biomassa itu sendiri.
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana menyampaikan realisasi bauran EBT sudah mencapai 12%-13% dari target bauran EBT 23% di 2025. Artinya, masih ada sekitar hampir separuhnya yang harus dikejar dalam waktu kurang dari tiga tahun ini. Dadan menjelaskan, untuk bisa mencapai target tersebut, Indonesia bisa mengejarnya melalui dua cara yakni pemanfaatan PLTS dan biomassa untuk co-firing.
Baca Juga: Terapkan Cofiring, PLN Ganti 75% Batubara dengan Biomassa di PLTU Bolok NTT “PLN sudah bergerak ke arah sana dan sudah ada 35 unit PLTU yang menggunakan biomassa,” jelasnya dalam acara webinar Road to G20 Himpuni, Selasa (25/10). Dari waktu ke waktu, Dadan menyatakan, pemanfaatan biomassa akan terus meningkat. Untuk mencapai target bauran EBT hingga 23% di 2025, Dadan mengungkapkan, Indonesia memerlukan 10 juta ton sampah biomassa per tahun di mana sumbernya sudah tersedia saat ini. “Kalau hitung limbah dari bahan pertanian saja ini sudah lebih dari cukup. Kami mencari cara bagaimana ini masuk karena barangnya sudah ada,” ungkap Dadan. Melansir laman resmi Kementerian ESDM, hasil pemetaan Direktorat Jenderal EBTKE mengungkapkan limbah dari hutan memiliki potensi sebesar 991.000 ton (eksisting), serbuk gergaji 2,4 juta ton, serpihan katu 789.000 ton, cangkang sawit 12,8 juta ton, sekam padi 10 juta ton, tandan buah kosong 47,1 juta ton, dan sampah rumah tangga 68,5 juta ton. Namun dari sisi harga, Dadan menyatakan, harga listrik yang dihasilkan dari biomassa dan batubara tidak bisa dibandingkan setara (
appel to apple) karena harga batubara dibatasi (cap). Maka itu harga listrik yang dihasilkan dari biomassa tentu akan lebih mahal dibandingkan dengan PLTU.
Baca Juga: Pengembangan EBT Masih Lambat, Komisi VII DPR Minta Pemerintah Cari Terobosan Selain mengembangkan biomassa, Kementerian ESDM juga mendorong pengembangan biodiesel dan biofuel. Dadan bilang, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang menggunakan B30 secara nasional dan seluruh sektornya menggunakan sawit secara berkelanjutan. Kalau Brasil unggul dengan pengembangan bioethanolnya, Indonesia boleh membusungkan dada sebagai negara yang sangat maju dalam memanfaatkan biodiesel. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari