JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyusun Peraturan Menteri (Permen) ESDM agar skema
gross split dalam kontrak bagi hasil alias
production sharing contract (PSC) bisa dilakukan secepatnya untuk kontrak baru. Asal tahu saja, sejak Pelaksana Tugas Menteri ESDM Luhut Binsar Pandjaitan, wacana kontrak bentuk lain sudah dibahas. Bahkan kontrak baru termasuk skema
gross split tersebut siap masuk ke dalam revisi UU Migas. Bahkan, Ditjen Migas sudah membandingkan PSC negara-negara lain seperti Malaysia, Aljazair, Amerika Selatan, hingga Peru untuk bisa mendapatkan kontrak bagi hasil yang terbaik.
Dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VII pada Selasa (22/11), Menteri ESDM Ignasius Jonan kembali mendengungkan wacana perubahan skema kontrak bagi hasil. Yakni, memakai skema
gross split, atau kontrak bagi hasil yang tidak dibebankan lagi biaya penggantian ke kontraktor migas. Dengan
gross split tersebut, setiap tahun pemerintah tidak lagi dipusingkan oleh
cost recovery. Kementerian ESDM akan berusaha, ke depan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) adalah
gross split. Jadi kalau sudah
gross split APBN tidak terbebani, terserah saja mereka mau kerja naik sepeda atau becak atau mau naik apa yang penting beres pas hitungan
gross split-nya," kata Jonan. Dengan memakai PSC skema
gross split, maka bagi hasil untuk minyak misalnya, tidak lagi 85% pemerintah dan kontraktor 15%, bisa saja 50%:50% plus tanpa
cost recovery. Direkur Indonesian Petroleum Association (IPA), Sammy Hamzah mengatakan, skema
gross split adalah jenis kontrak yang diusulkan kontraktor. "Dan sedang kami tunggu implementasinya," kata Sammy ke KONTAN pada Jumat (25/11). Usulan kontraktor sebenarnya tidak hanya
gross split, tetapi juga
sliding scale (bagi hasil tanpa memperhitungkan
first tranche petroleum dan
cost recovery lebih dulu). Kedua skema ini digunakan dalam kondisi harga minyak sedang rendah dan untuk non konvensional.
Pengamat Energi dari Reforminer Institute Komaidi Notonegoro, menyatakan, dengan skema
gross split ini tidak bisa langsung efektif meningkatkan investasi di sektor hulu migas. Perhitungan bagi hasil dalam skema
gross split sangat menentukan menarik tidaknya investasi hulu migas Indonesia. Sementara bagi pelaku menarik belum tentu tergantung
gross split. "Kalau sistem lama, tapi bagi hasilnya bagus bukan 85:15, katakanlah 80:20 atau 75:25 itu bisa saja jauh lebih menarik dibandingkan
gross split," ujar Komaidi. Dia juga menekankan, penentuan bagi hasil akan sangat tergantung pada kondisi suatu lapangan migas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie