ESDM: Harga energi geothermal masih mahal



JAKARTA. Indonesia memiliki potensi pemanfaatan energi panas bumi besar, namun masih terkendala harga yang tidak kompetitif. Hal itu disampaikan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Arcandra Tahar ketika dalam rilis yang diterima KONTAN, Minggu (8/1).

Sesuai Cetak Biru Perencanaan Energi 2005-2025, pada 2025 peran minyak dalam bauran energi dikurangi hingga 30%, sementara penggunaan panas bumi akan dinaikkan. Dengan demikian diharapkan, pembangkit tenaga listrik panas bumi dapat menyumbang 9.500 MW. “Pada posisi 2025, semua sumber energi akan memberikan kontribusi kurang lebih seimbang,” ujar Arcandra. 

Tantangannya, lanjut Acandra, bagaimana membuat harga listrik panas bumi lebih kompetitif dibanding sumber energi lain. “Hal ini menjadi satu hal yang harus kita pikirkan bersama untuk jalan keluarnya,” tutur Arcandra. 


Menurut data Badan Geologi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), total potensi panas bumi di Tanah Air mencapai 29 GWe dan menyebar di 265 lokasi.

Potensi besar itu membuat 40% sumber daya panas bumi dunia berada di Indonesia. Jika potensi itu diwujudkan, terjadi penghematan bahan bakar minyak (BBM) 1,2 juta barel per hari. 

Maka itu Archandra menyebut energi geothermal ini merupakan kearifan lokal yang memiliki tingkat keandalan produksi stabil dan tidak terpengaruh cuaca. “Kestabilan ini membuat listrik dari panas bumi bisa menjadi base load penyediaan listrik bagi masyarakat oleh PLN,” tegas Arcandra. 

Sebagai base load, ketika penggunaan listrik berada pada titik terendah, misalnya lebaran, maka Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) tetap hadir dengan kapasitas penuh. Sedangkan pembangkit yang menggunakan BBM dan batubara dimatikan. 

Sementara itu, Direktur Operasi PGE Ali Mundakir, menyampaikan, sampai akhir 2016 kapasitas terpasang yang dimiliki PGE sebesar 537 MW setara listrik. Dari 14 WKP, terdapat empat area yang sudah berproduksi secara operasi sendiri (own operation), yaitu Area Kamojang (Jawa Barat), Sibayak (Sumatera Utara), Lahendong (Sulawesi Utara), dan Ulubelu (Lampung).  

Sedangkan 5 WKP lain dioperasikan dengan mitra, meliputi WKP Sarulla (Sumatera Utara), Gunung Salak, Darajat, Wayang Windu, ketiganya di Jawa Barat, dan Bedugul di Bali. 

Ali menambahkan, Area Kamojang merupakan area panas bumi pertama di Indonesia yang diproduksikan secara komersial.

“Pada 1978 berhasil dibangun PLTP Monoblok dengan kapasitas 250 kWe, yang diresmikan Menteri Pertambangan dan Energi saat itu, Subroto,” ujar Ali. 

Produksi secara komersial di Kamojang dimulai sejak 1983 dengan beroperasi Kamojang Unit-1 (30 MW). Disusul Unit-2 dan Unit-3 pada 1987 dengan kapasitas masing-masing 55 MW. “Ketiga PLTP tersebut milik Indonesia Power, anak usaha PLN. Dengan demikian PGE menjual uap kepada IP,” jelas Ali. 

Sedangkan PLTP Kamojang Unit-4 yang mulai beroperasi 2008 (60 MW) dan PLTP Unit-5 (35 MW) yang mulai beroperasi 2015, dibangun dengan skema total project. Mulai dari tahapan eksplorasi dan pengembangan lapangan uap hingga pembangunan serta pengoperasian PLTP dilakukan PGE, “Listrik yang dihasilkan dijual ke PLN untuk didistribusikan kepada konsumen,” tambah Ali. Dengan demikian total kapasitas terpasang Area Kamojang sebesar 235 MW setara listrik, dan masuk ke dalam jaringan listrik tegangan tinggi 150 KV Jawa-Bali-Madura (Jamali). 

Ali menambahkan, Area Kamojang sudah enam kali secara berturut-turut meraih penghargaan Proper Emas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) periode 2011-2016. “Hal itu menunjukkan dalam menjalankan usahanya, PGE Area Kamojang memperlihatkan kepedulian yang sangat tinggi  pada lingkungan dan pemberdayaan masyarakat sekitar,” lanjut Ali. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia