KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk mempercepat implementasi program mandatori biodiesel, Indonesia dinilai perlu menambah investasi di sektor ini. Saat ini, kebijakan biodiesel nasional masih bergantung pada campuran bahan bakar solar dengan minyak nabati yang bersumber dari minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO). Pada 1 Januari 2025, pemerintah akan memulai penerapan B40, yakni campuran 60% bahan bakar solar dan 40% bahan bakar nabati (BBN) dari minyak kelapa sawit.
Baca Juga: Kementerian ESDM Tetapkan BNN Biodiesel November 2024 Rp 13.384 per Liter Program mandatori biodiesel ini akan terus meningkat, menuju target persentase yang lebih tinggi seperti B50, B60, hingga mencapai B100. Biodiesel tidak hanya berasal dari minyak sawit; bahan bakar ramah lingkungan ini juga dapat dihasilkan dari minyak nabati lainnya, seperti minyak kelapa, minyak jarak, hingga minyak dari limbah pertanian. Terkait kebutuhan biodiesel yang semakin besar, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Edi Wibowo menyatakan bahwa untuk mempersiapkan B50, Indonesia perlu menambah 7-9 pabrik biodiesel baru. “Perlu dibangun sekitar 7-9 pabrik lagi, atau meningkatkan kapasitas dari pabrik-pabrik yang ada,” ujar Edi dalam acara 20th International Palm Oil Conference (IPOC) yang digelar pada Kamis (7/11).
Baca Juga: Program B40 Dibayangi Mandeknya Produksi CPO Menurutnya, total investasi dari pembangunan pabrik baru tersebut dapat mencapai sekitar USD 360 juta atau setara dengan Rp 5,64 triliun. “Peluang investasi ini cukup besar, pemerintah mungkin perlu mengalokasikan sekitar USD 360 juta untuk tambahan investasi ini,” tambahnya. Meski demikian, kapasitas produksi biodiesel yang ada dinilai masih mencukupi untuk B40, didukung oleh 24 badan usaha bahan bakar nabati (BU BBN) dengan kapasitas produksi mencapai 15,8 juta kilo liter (kL). “Kekurangan sekitar 0,3 juta kL untuk B40, tetapi dengan BU BBN yang ada, kami masih bisa mencukupi kebutuhan itu,” jelasnya. Untuk B50 yang direncanakan berjalan pada 2028, Kementerian ESDM memperkirakan diperlukan 19,7 juta kL biodiesel. Dengan kapasitas produksi saat ini yang sekitar 15,8 juta kL, maka ada kekurangan sekitar 3,9 juta kL.
Baca Juga: Menilik Wacana Penerapan B40 di Tengah Stagnasi Produksi Sawit Nasional Dari sisi industri, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono menyatakan bahwa sektor kelapa sawit memiliki potensi untuk ikut berinvestasi dalam pengembangan biodiesel, meski ia juga memberikan beberapa catatan. “Yang penting jangan sampai idle atau tidak terpakai; harus sesuai dengan pasokan bahan baku. Bahan baku saat ini memang cukup, tetapi porsi ekspor CPO perlu dikurangi,” ujarnya saat dihubungi pada Sabtu (9/11). Data dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) mencatat bahwa hingga 2022 terdapat 32 perusahaan biodiesel dengan kapasitas terpasang sebesar 17,14 juta kL, senilai investasi sebesar USD 1,78 miliar. Ketua PASPI Tungkot Sipayung, juga menekankan pentingnya ekspansi untuk memenuhi kebutuhan B50 dan seterusnya. “B50 membutuhkan sekitar 21 juta kL FAME. Dengan kapasitas kilang biodiesel saat ini sekitar 17 juta kL, sementara B40 saja membutuhkan 15 juta kL, maka perlu ada peningkatan kapasitas atau pembangunan pabrik baru,” ujarnya.
Baca Juga: BPDPKS: Realisasi Subsidi B35 hingga September 2024 Capai Rp 17 Triliun Sambil meningkatkan kapasitas produksi secara bertahap, pemerintah dapat memanfaatkan kapasitas yang sudah ada. “Dilakukannya bertahap dari B40 ke B50, sehingga kapasitas yang ada masih bisa dimanfaatkan,” tambahnya.
Sebagai informasi tambahan, saat ini PT Perkebunan Nusantara IV (PTPN IV), melalui Sub Holding PTPN III (Persero) PalmCo, sedang mengkaji pembangunan pabrik biodiesel di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei, Sumatera Utara, dengan kapasitas produksi mencapai 450 ribu ton RBDPO per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto