ESDM: Kontrak proyek East Natuna batal



JAKARTA. Antiklimaks. Semangat di awal, kendur di akhir. Itulah yang terjadi pada proyek Blok East Natuna, yang akhirnya batal. Padahal sebelumnya Presiden Joko Widodo menginginkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) segera melakukan percepatan proyek-proyek di Natuna.

Proyek Blok East Natuna sejak ditemukan tahun 1973 hingga kini belum juga jalan. Berbagai aksi dilakukan, hingga komposisi saham konsorsium di proyek East Natuna terus berubah. Pada Desember tahun 2011 semisal, saham Pertamina 35%, ExxonMobil 35%, Total E&P 15%, serta Petronas 15%.

Petronas kemudian mundur dan digantikan PTT Exploration and Production (PTT EP), perusahaan migas asal Thailand. Lalu pada tahun 2013 lalu, giliran Total EP mundur. Alhasil, hingga kini komposisi saham belum jelas. Seharusnya pembagian dan kontrak kerjasama diteken pada  30 September 2016, kemarin.


Direktur Pembinaan Hulu Migas Kementerian ESDM, Tunggal menjelaskan, pembatalan penandatanganan kontrak kerjasama Blok East Natuna karena konsorsium masih memerlukan waktu untuk memeriksa cadangan minyak yang ada di blok itu.

Sampai saat ini baru dilakukan pemboran satu sumur untuk membuktikan cadangan minyak. Maka jika kontrak kerjasama ditandatangani, konsorsium Blok East Natuna harus segera melakukan komitmen pekerjaan produksi minyak. "Mereka tidak mau kami push. Oke, ditandatangani, tapi besok lakukan pekerjaan, mereka belum mau," kata Tunggal, Jumat (30/9).

Belum berkomitmennya konsorsium proyek East Natuna bukan lantaran keekonomian lapangan, tapi kepastian adanya cadangan. "Makanya konsorsium ingin melakukan studi lagi, seismik lagi," kata Tunggal.

Padahal berdasarkan hasil pemboran satu sumur di Blok East Natuna tersebut  diproyeksi, produksi minyak  antara 7.000 barel-15.000 barel per hari.

Selain itu Tunggal menyebut, sebelum menandatangani kontrak kerjasama, anggota konsorsium ingin menunggu selesainya technology market review oleh ExxonMobil pada tahun 2017 terkait cadangan gas di blok tersebut. Sementara pemerintah ingin penemuan cadangan minyak bisa dikerjakan terlebih dulu.

"Kalau mengembangkan gas, infrastrukturnya harus banyak, mahal, belum CO2 mau di bawa kemana? Pasar gasnya ke mana?" kata Tunggal, setengah bertanya.

Cadangan gas di Blok East Natuna itu sekitar 45 triliun cubic feet dengan perkiraan investasi sebesar US$ 20 miliar. Sayang, Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam dan  Vice President Public and Goverment Affairs ExxonMobil Indonesia Erwin Maryoto, tak merespons konfirmasi KONTAN soal pembatalan proyek tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini