ESDM: Sanksi pemangkasan produksi karena tak penuhi DMO belum dicabut



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan kebijakan wajib pasok batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) pada tahun ini tidak akan lebih dari 25% dari target produksi nasional.

Padahal, pada permulaan tahun 2019 ini, Kementerian ESDM memproyeksikan target DMO sebesar 128 juta ton atau setara dengan 26,12% dari target produksi batubara nasional dalam Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang tahun ini berada di angka 489,12 juta ton.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan, dalam menetapkan target DMO tersebut, pihaknya memperhitungkan kebutuhan batubara dalam negeri, baik dari industri dan terutama untuk ketenagalistrikan. Artinya, dengan target maksimal 25%, maka pasokan DMO tak akan lebih dari 122,28 juta ton, dari target produksi dalam RKAB yang telah ditetapkan.


Bambang bilang, dalam penetapan target DMO tahun ini, pihaknya mematok volume yang tak jauh berbeda dari realisasi pasokan DMO di tahun lalu. Ia pun mengatakan, meski pun proyeksi kebutuhan lebih kecil dari 25%, namun emerintah tetap akan mematok di angka tersebut dengan alasan untuk menjaga ketersediaan pasokan agar tak mengalami defisit.

"DMO pada prinsipnya maksimum 25%. Itu aja, meski lebih kecil (proyeksi kebutuhan), kita meski taruh 25% karena untuk jaga-jaga," kata Bambang saat ditemui di Kementerian ESDM, Senin (1/4).

Adapun, realisasi DMO pada tahun lalu sebesar 115,09 juta ton. Jumlah realisasi itu lebih kecil dari target DMO tahun 2018 yang dipatok 121 juta ton. Dari realisasi DMO sebesar 115,09 juta ton itu, sebesar 91,14 juta ton diserap untuk kebutuhan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Sebanyak 1,75 juta ton untuk industri metalurgi, sebesar 22,18 juta ton untuk industri pupuk, semen, tekstik dan kertas, serta 0,01 juta ton digunakan untuk briket.

Bambang mengatakan, target DMO tahun ini sebesar 26,12% yang sebelumnya diinformasikan Kementerian ESDM, merupakan proyeksi berdasarkan perhitungan maksimal terhadap kebutuhan domestik. "Ya itu kan maksimumnya. Tapi 25% sudah cukup, kebutuhan kan nggak jauh dari 115 juta ton (seperti realisasi dari tahun lalu)," ungkap Bambang.

Lebih lanjut, Bambang pun menyampaikan keputusan mengenai target DMO ini akan segera disahkan melalui Kepetusan Menteri (Kepmen) ESDM. "Ya nanti kita keluarkan (Kepmen), sebentar lagi," ujarnya.

Sementara itu, Hingga 21 Maret 2019, realisasi produksi batubara baru di angka 42,54 juta ton atau setara dengan 8,69% dari target produksi di RKAB. Sedangkan, di waktu yang sama, batubara yang telah dipasok ke pasar dalam negeri baru sebesar 14,6 juta ton atau sekitar 11,8% dari target.

Terkait dengan DMO batubara ini, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia sebelumnya mengemukakan bahwa target DMO pada tahun 2019 memang sebaiknya dipatok tidak jauh dari realisasi DMO tahun 2018.

Alasannya, Hendra menilai bahwa sekalipun kebutuhan batubara dalam negeri bertambah, namun jumlahnya tidak akan terlampau signifikan. Apalagi, untuk memenuhi targe DMO tahun ini, Hendra menyampaikan perusahaan masih akan mengalami kesulitan serupa seperti yang terjadi pada tahun lalu.

"Masih ada kesulitan itu, kira-kira sama seperti tahun lalu. Apalagi tahun lalu juga (target DMO) tidak tercapai kan," kata Hendra.

Masalah yang sama seperti yang dimaksud Hendra ialah mulai dari perbedaan spesifikasi kalori batubara yang diproduksi dan yang diserap oleh domestik dan kontrak yang sudah berjalan. Selain itu, ada juga faktor pasar dan harga, serta skema transfer kuota yang belum sepenuhnya bisa dilakukan oleh perusahaan yang terkendala harga business to business. Sanksi Masih Berlanjut Akibat target DMO yang tak terpenuhi pada tahun lalu, Kementerian ESDM pun menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang pasokan domestiknya kurang dari 25%. Atas kebijakan tersebut, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Provinsi menjadi yang paling banyak terkena sanksi, berupa pemotongan kuota produksi di tahun ini. Seperti yang diberitakan Kontan.co.id sebelumnya, dari 10 Provinsi produsen batubara terbesar yang ada, Kalimantan Timur (Kaltim) menjadi provinsi yang paling terdampak sanksi tersebut. Gubernur Kaltim Isran Noor pun sampai mengirimkan surat dan bertemu dengan Presiden Joko Widodo supaya sanksi tersebut bisa dicabut. Alasannya, pemotongan kuota produksi batubara itu berdampak negatif secara signifikan bagi kondisi sosial ekonomi di Kaltim yang mayoritas perekonomiannya ditopang oleh batubara. Asal tahu saja, produksi batubara Kaltim pada tahun 2018 mencapai 69,64 juta ton. Namun, realisasi DMO batubara Kaltim hanya 8,32 juta ton. Padahal, kewajiban pasok DMO yang disyaratkan pemerintah adalah 25% dari produksi. Karenanya, IUP di Kaltim pun terkena sanksi, dimana kuota produksi batubara yang diberikan hanya sebesar 33,28 juta ton. Menanggapi hal itu, Bambang Gatot Ariyono menegaskan, pihaknya tetap tidak akan mencabut sanksi tersebut sekalipun sang gubernur telah mengajukan surat kepapda Presiden. Bambang beralasan, jika IUP Provinsi ingin menaikkan jumlah kuota produksinya, maka hal itu bisa dilakukan melalui mekanisme revisi RKAB pada bulan Juni mendatang. Kendati demikian, Bambang menyampaikan, tetap ada persyaratan khusus jika perusahaan ingin kembali menambah kuota produksinya. Seperti rasio pemenuhan kewajiban DMO pada Semester I, kapasitas dan kinerja produksi, serta sesuai persetujuan studi kelayakan dan ijin lingkungan perusahaan. "Tidak otomatis dicabut (sanksi). Nanti kita pertimbangkan di Juni, yang penting DMO pada Semester I sudah terpenuhi," tandas Bambang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Azis Husaini