ESDM: Smelter kolaps bukan akibat aturan



JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menyebutkan, 23 pemurnian mineral (smelter) kolaps. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membantah, kolapsnya sebanyak 23 smelter karena terbitnya peraturan relaksasi mineral pada Januari 2017.

Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi dan Kerja Sama Kementerian ESDM Sujatmiko menyatakan, tidak benar PP No 1/2017 tentang Perubahan Keempat Atas PP No 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menjadi penyebab timbulnya kerugian bagi smelter.

Kerugian smelter nikel disebabkan oleh efek penurunan harga jual. Sebab, industri stainless steel sedang melemah di kuartal II-2017.


Selain itu masih ada surplus produksi dari tahun 2016 yang tidak diikuti dengan peningkatan permintaan di pasar. Juga meningkatnya pasokan nikel dari Filipina, menjadi faktor utama tren rendahnya harga nikel dunia.

Jangan lupa, terjadi juga peningkatan biaya produksi, terutama dari harga kokas (cooking coal). Harga coking coal (kokas) meningkat dari US$ 100 per ton di Desember 2016 menjadi US$ 200 per ton pada Mei 2017. Kokas menjadi sebagai salah satu komponen utama pada struktur biaya dalam proses pengolahan dan pemurnian nikel dengan teknologi blast furnace.

Kontribusinya diperkirakan 40% dari total biaya produksi. "Jadi, tidak tepat jika PP No. 1 Tahun 2017 menimbulkan kerugian bagi pengusaha smelter nikel, sehingga menyebabkan ditutupnya operasi produksi," kata dia, Sabtu (22/7).

Merujuk pada data United States Geological Survey, Januari 2017, Indonesia memiliki cadangan nikel hanya 6% dari total cadangan dunia. Di 2016, kontribusi produksi nikel Indonesia dalam menyuplai kebutuhan nikel dunia hanya sekitar 7%. "Total cadangan Indonesia cuma 6% cadangan dunia. Tidak tepat harga nikel dunia terkontrol oleh ekspor terbatas nikel kadar rendah dari Indonesia," tegas Sujatmiko.

Pemasok utama nikel dunia adalah Filipina, lebih dari 22%. Menyusul Rusia dan Kanada, masing-masing sekitar 11%. Sementara Australia dan Kaledonia Baru, yang masing-masing sekitar 9%.

Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo menyatakan, itulah kecerobohan pemerintah, sudah tahu surplus nikel pada tahun 2016, malah memaksakan ekspor dibuka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini