KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Ekspor konsentrat tembaga dari PT Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara (AMNT) menurun di tahun ini. Volume eskpor yang menukik dari dua perusahaan mineral raksasa itu membuat penerimaan negara ikut menciut. "Penerimaan SDA (Sumber Daya Alam) non-migas sebagian besar dari ekspor tembaga oleh Freeport (PTFI) dan Newmont (AMNT), tapi dua bulan awal tahun ini, pantauan di kepabeanan terlihat minim," kata Direktur Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Syarif Hidayat saat berkunjung ke kantor KONTAN, pekan lalu. Lebih lanjut, Kepala Sub-Direktorat Komunikasi dan Publikasi Bea dan Cukai Deni Surjantoro mengatakan, ekspor dari konsentrat tembaga menjadi yang paling dominan terhadap Penerimaan Bea Keluar (BK). Sementara itu, dua perusahaan tersebut merupakan kontributor terbesar terhadap penerimaan BK.
Deni bilang, PTFI dan AMNT berkontribusi sebesar Rp. 4,85 triliun atau setara dengan 73,3% terhadap nilai penerimaan BK. "Pada tahun 2018 penerimaan BK memang didominasi oleh BK dari eskpor konsentrat tembaga, PTFI dan AMNT kontribusinya mencapai 73,3%," terang Deni saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (25/3). Dia mengungkapkan, dengan menurunnya ekspor konsentrat tembaga PTFI dan AMNT, penerimaan BK pada awal tahun ini pun mengalami penurunan signifikan. Ia bilang, realisasi penerimaan BK untuk tembaga sampai akhir Februari 2019 tercatat mengalami penurunan sebesar 58,8% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. "Namun demikian kontribusi BK komoditas tembaga masih yang terbesar, dengan share sebesar 83,5% dari total penerimaan BK," terang Deni. Deni tidak menyebutkan dengan detail berapa yang telah dikontribusikan oleh PTFI dan AMNT di awal tahun ini. Deni hanya mengatakan, bahwa pihaknya tidak mematok target khusus untuk BK dari komoditas tembaga. Sementara, total target penerimaan BK tahun ini sebesar Rp. 4,42 triliun. Sedangkan, total penerimaan BK sampai Februari 2019 sebesar Rp. 0,63 triliun atau 14,27% dari target dalam APBN tahun 2019. Deni bahkan mengatakan bahwa penerimaan BK mengalami pertumbuhan negatif sebesar 29,49% dibandingkan kinerja pada periode yang sama tahun 2018. "Penurunan tersebut diakibatkan turunnya kinerja ekspor mineral, terutama komoditas tembaga," jelasnya. Kendati demikian, Deni mengatakan pihaknya tidak merasa ada kekhawatiran yang berlebihan. Hal itu lantaran kekurangan dari komoditas tembaga relatif bisa tertutupi oleh pertumbuhan sejumlah komoditas ekspor lain yang terkena BK. "Namun demikian terdapat beberapa komoditas ekspor terkena BK yang mengalami pertumbuhan seperti produk kelapa sawit, nikel dan bauksit, biji kakao, serta kayu dan kulit," terang Deni. Penurunan Produksi Pada tahun ini, PTFI dan AMNT memang mengantongi Surat Persetujuan Ekspor (SPE) dengan volume yang lebih mini dibandingkan tahun 2018 lalu. Sebagai informasi, SPE untuk kedua perusahaan tersebut telah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM dan Kementerian Perdagangan pada 8 Maret 2019. Adapun, kuota ekspor konsentrat tembaga PTFI pada tahun ini hanya 198.282 wet metric ton (WMT). Padahal, dalam empat tahun terakhir, kuota ekspor konsentrat tembaga PTFI selalu ada di atas 1 juta WMT. Dalam satu periode terakhir (15 Februari 2018-15 Februari 2019), jumlah kuota ekspor PTFI sebesar 1,25 juta wmt.
Vice President Corporate Communication PTFI Riza Pratama mengatakan, penurunan ekspor tersebut merupakan dampak dari menukiknya tingkat produksi di tambang PTFI. Riza bilang, saat ini PTFI tengah berada dalam masa transisi dari penambangan tambang terbuka ke tambang bawah tanah. Akibatnya, lanjut Riza, produksi PTFI pun akan menurun drastis dalam dua tahun ke depan. "Karena produksi tambang bawah tanah belum optimal, dan produksi tambang terbuka akan berakhir tahun ini, jadi kami dalam masa transisi," ungkapnya saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (25/3). Dalam masa transisi ini, Riza mengatakan bahwa sebgaian besar produksi konsentrat tembaga PTFI akan dipasok ke dalam negeri, yakni ke PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. Riza juga mengatakan, pada masa transisi ini tingkat produksi PTFI bisa menurun hingga 50%. Asal tahu saja, berdasarkan data dari Kementerian ESDM, pada tahun ini produksi konsentrat PTFI berkisar di angka 1,3 juta wmt, dan sekitar 1,1 juta ton yang dipasok ke PT Smelting. Turun dari jumlah produksi konsentrat tembaga PTFI yang sebesar 2,1 juta ton di sepanjang tahun 2018. Hal yang sama juga dialami oleh AMNT. Pada tahun ini, kuota ekspor AMNT merosot menjadi 336.100 wmt konsentrat tembaga, turun dibandingkan kuota ekspor di periode tahun sebelumnya yang sebesar 450.826 wmt. Presiden Direktur AMNT Rachmat Makassau mengatakan, penurunan ekspor itu pun merupakan imbas dari turunnya tingkat produksi, lantaran mengikuti siklus tambang. Sebab, Tambang Batu Hijau tengah berada dalam fase 7. Selama fase tersebut, kata Rachmat, akan ada beberapa penyesuaian rencana dalam operasional tambang. Adapun, kegiatan yang dilakukan dalam fase ini mencakup pengupasan tanah dan batuan di area tabang, serta hanya mengolah batuan bijih dari timbunan cadangan (stockpile) yang disiapkan dari fase-fase terdahulu. "Kendati akan menurunkan tingkat produksi sementara, proses penambangan ke depan diyakini akan lebih efisien," ujarnya. Adapun, dilihat dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sub sektor mineral dan batubara (minerba), PTFI dan AMNT merupakan kontributor terbesar. Data dari Kementerian ESDM mengungkapkan, PTFI merupakan penyumbang PNBP terbesar di komoditas mineral pada tahun 2018, sedangkan AMNT menduduki posisi kedua. Jumlah PNBP yang disumbangkan PTFI sebesar Rp. 4,2 triliun, sedangkan AMNT menyumbangkan Rp. 376,49 miliar. Sementara realisasi PNBP dari subsektor minerba sebesar Rp. 50 triliun. Adapun, per 22 Maret 2019, PNBP minerba tercatat sebesar Rp 9,89 triliun. Jumlah itu setara dengan 22,86% dari target PNBP tahun ini yang sebesar Rp 43,26 triliun.
Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Jonson Pakpahan mengatakan bahwa pihaknya belum menghitung secara detail, sejauh mana dampak penurunan produksi dan ekspor dari PTFI dan AMNT terhadap PNBP. Hanya saja, Jonson mengatakan bahwa pihaknya belum memastikan apakah nantinya akan ada perubahan target PNBP atau tidak. Yang jelas, realisasi PNBP dari subsektor minerba masih sesuai target, yakni rata-rata sebesar Rp 3,3 triliun hingga Rp 3,7 triliun PNBP yang masuk setiap bulannya. Karenanya, Jonson optimistis, penurunan dari kedua perusahaan mineral raksasa itu tidak akan berpengaruh begitu signifikan terhadap capaian PNBP minerba secara keseluruhan. Sebab, selama ini kontribusi PNBP terbesar disumbang oleh komoditas batubara dengan porsi sekitar 80%. "Freeport dan Amman itu kan mineral, dari batubara mungkin menjadi substitusi. Tapi akan bisa kita jelaskan apabila benar-benar ada perubahan target, sebab saya belum bisa melihat penurunan, finalnya di akhir tahun," ungkap Jonson. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini