Ethiopian Airlines: Ada kesamaan yang jelas dengan kecelakaan Indonesia



KONTAN.CO.ID - ADDIS ABABA. Data penerbangan dari kecelakaan Ethiopian Airlines (10/3) menunjukkan kesamaan yang jelas dengan kecelakaan di Indonesia Oktober lalu. Hal ini diungkapkan oleh menteri transportasi Ethiopia, Minggu (17/3).

Menteri Transportasi Dagmawit Moges mengatakan kepada wartawan bahwa laporan awal akan dirilis dalam waktu 30 hari. "Kemiripan yang jelas dicatat antara Ethiopian Airlines Flight 302 dan Indonesian Lion Air Flight 610, yang akan menjadi subjek studi lebih lanjut selama penyelidikan," kata Ms Dagmawit seperti dikutip BBC.

Kedua penerbangan menggunakan Boeing 737 Max 8. Dalam kedua kasus, data pelacakan penerbangan menunjukkan ketinggian pesawat berfluktuasi tajam. Pesawat tampaknya mengalami pendakian dan penurunan yang tidak menentu.


Chairman dan CEO Boeing Dennis Muilenburg menegaskan kembali bahwa pihaknya mendukung penyelidikan lebih lanjut. Dalam sebuah pernyataan, ia menambahkan bahwa Boeing akan melanjutkan dengan pembaruan perangkat lunak yang akan membahas perilaku sistem kontrol penerbangan dalam menanggapi masukan sensor yang salah.

Minggu (10/3) lalu jet Ethiopian Airlines jatuh setelah lepas landas dari Addis Ababa, menewaskan seluruh 157 orang di dalamnya. Ethiopian Airlines Penerbangan 302 lepas landas dari Bandara Internasional Addis Ababa Bole pada pagi hari 10 Maret, menuju Nairobi di Kenya. Beberapa menit setelah penerbangan, pilot melaporkan kesulitan dan meminta untuk kembali.

Jarak pandang dikatakan baik tetapi monitor lalu lintas udara Flightradar24 mengatakan, "Kecepatan vertikal pesawat tidak stabil setelah lepas landas."

Penyelidik keselamatan udara Prancis memeriksa kotak hitam yang merupakan perekam data penerbangan dan perekam suara kokpit. Penyelidik telah menyerahkan temuan mereka ke rekan-rekan Ethiopia mereka.

Pada 29 Oktober Lion Air Penerbangan J 610 jatuh setelah lepas landas dari bandara Jakarta, menewaskan 189 orang.

Penyelidik kemudian mengidentifikasi masalah dengan sistem anti-stall, yang dirancang untuk mencegah pesawat mengarah ke atas pada sudut yang terlalu tinggi sehingga bisa kehilangan daya angkatnya.

Selama penerbangan JT610, sistem ini berulang kali memaksa hidung pesawat ke bawah, bahkan ketika pesawat tidak berhenti, yang kemungkinan disebabkan oleh sensor yang salah.

Pilot mencoba memperbaiki ini dengan mengarahkan hidung lebih tinggi, hingga sistem mendorongnya lagi. Ini terjadi lebih dari 20 kali.

Setelah kecelakaan kedua, maskapai dan otoritas penerbangan di seluruh dunia mengandangkan pesawat Boeing 737 Max 8.

Editor: Wahyu T.Rahmawati