Evaluasi tarif interkoneksi akan kelar bulan ini



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Polemik mengenai tarif interkoneksi operator telekomunikasi seharusnya segerai usai. Kini Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). sedang mengevaluasi hasil verifikasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Sebelumnya, BRTI menyebutkan, hasil verifikasi BPKP merekomendasikan sistem pembayaran tarif interkoneksi dengan metode asimetris. Artinya, tarif interkoneksi akan berdasarkan pada biaya atas kerja keras si operator membangun jaringan dan efisiensi (cost based).

Operator yang rajin membangun jaringan hingga ke pelosok mengenakan tarif interkoneksi lebih mahal ke operator lain yang menumpang jaringan. Harga itu untuk menutup biaya investasi. Pembangunan jaringan hingga ke pelosok negeri ini adalah prinsip modern licensing, sesuai amanat UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.


Komisioner BRTI Bidang Kebijakan Publik Taufik Hasan membenarkan, saat ini pihaknya tengah melakukan evaluasi terhadap hasil verifikasi oleh BPKP. Evaluasi tersebut ditargetkan selesai pada Februari ini. "Hasil verifikasi sedang dievaluasi dan Februari ini akan diserahkan ke menteri Kominfo," ujar Taufik saat dihubungi KONTAN, Rabu (31/1). Sebelumnya, Taufik pernah mengatakan, hasil hitungan BPKP, biaya interkoneksi disesuaikan dengan kondisi operator.

Industri telekomunikasi memang sangat menanti aturan interkoneksi ini. Maklum, aturan penetapan biaya interkoneksi terakhir dikeluarkan tahun 2006 melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi. Dari aturan tersebut pemerintah menetapkan biaya interkoneksi mengacu dari Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) operator dominan.

Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengungkapkan, hingga saat ini belum memahami betul bagaimana skema asimetris yang digagas oleh regulator. "Yang saya dengar begitu (asimetris), tetapi isinya apa, terus terang saya belum baca, karena asimetris bisa bermacam-macam," ungkapnya.

Merza yang juga Presiden Direktur Smartfren ini mencontohkan, dengan menggunakan pola asimetris bisa jadi tarif interkoneksi antara Smartfren dan XL seharga Rp 100. Sedangkan Smartfren dengan Tri Rp 200. Contoh lain, ketika Smartfren dengan Indosat dikenakan Rp 100, sementara dari Indosat ke Smartfren ditarif Rp 200.

Dari sisi business to business (B2B), Merza berujar, hal itu tidak tergolong asimetris, tapi secara industri termasuk asimetris. Atas dasar itu, ATSI lebih mendukung pola simetris atau pola lama. Pasalnya, belum ada kejelasan siapa yang akan mengatur tarif asimetris lantaran setiap operator memasang tarif merekasendiri-sendiri. "Nanti ada hal - hal yang selama ini ingin dihindari, justru malah terjadi, seperti ingin mendominasi," ungkapnya.

Menurut Merza, banyak hal yang belum jelas terkait pola asimetris tersebut. Polemik mengenai tarif interkoneksi semakin melebar. Padahal persoalan awal hanya terkait angka atau tarif yang ingin ditetapkan.

Komisioner Ombudsman, Alamsyah Saragih mengkritik Kementerian Kominfo yang lamban dalam menuntaskan polemik tarif interkoneksi karena sudah berlangsung sejak empat tahun lalu. "Kominfo harus menyampaikan secara jelas ke publik, apapun hasilnya," pintanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie