Evaluasi Tiga Tahun Jokowi-Ma'ruf, Pemulihan Ekonomi Masih Jadi Tantangan Utama



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) - Wakil Presiden Ma'ruf Amin telah berlangsung tiga tahun pasca dilantik pada 20 Oktober 2019 lalu. Berbagai macam tantangan terus diupayakan untuk diselesaikan pemerintah. Salah satunya terkait pemulihan ekonomi.

Lembaga riset Populi Center melakukan survei untuk mengetahui tren kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf. Hasilnya, tren kepuasan terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf di tahun 2022 mengalami kenaikan. Dari 62,4% pada bulan Maret, kemudian 63,6%pada bulan Juli, kini pada bulan Oktober angkanya menjadi 65,9%.

Peneliti Senior Populi Center Usep Ahyar mengatakan, Lima Prioritas Kerja Presiden 2019-2024 mendapatkan penilaian yang cukup baik dari masyarakat.


Baca Juga: Ini Kata Apindo Soal Kinerja 3 Tahun Kepemimpinan Jokowi - Ma'ruf Amin

Pemerataan pembangunan infrastruktur menjadi program yang mendapatkan penilaian positif/puas paling tinggi, yakni sebesar 71%, disusul peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dengan 60,3%, penyederhanaan birokrasi dengan 57,6%, penyederhanaan regulasi/peraturan dengan 56,7% dan peningkatan kualitas daya saing ekonomi dengan 55,6%.

Lalu, Selama delapan tahun kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden, terdapat sejumlah hal yang dianggap paling dirasakan manfaatnya. Antara lain pemberian bantuan sosial (41,7%), disusul pembangunan jalan tol (24,3%), tersedianya dana desa (10,8%), sertifikasi tanah (5,1%), dan pembangunan bendungan (1,4%).

Adapun masyarakat yang menjawab hasil kerja lainnya sebesar 6,9%, dan masyarakat yang menolak menjawab sebesar 9,8%.

"Meskipun pemberian bantuan sosial mendapatkan apresiasi cukup baik, namun publik juga menyorot ketepatan pemerintah dalam menyalurkan bantuan sosial (30,2%) sebagai masalah yang dianggap paling perlu mendapatkan penanganan dari pemerintah pusat," terang Usep, Rabu (26/10).

Selain ketepatan penyaluran bansos, masalah lainnya ialah kemudahan mendapatkan modal UMKM (20,3%), kemudahan mendapatkan layanan kesehatan (16,5%), pelayanan administrasi kependudukan (6,8%), kecepatan mengatasi berita bohong (5,7%), jaminan warga/keamanan (5,3%), dan kemudahan perizinan usaha (3,3%).

Adapun sebesar 7% menjawab masalah-masalah lainnya, dan sebesar 4,9% tidak menjawab.

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta menyebut, pada periode kedua pemerintahan Jokowi dimulai dengan pandemi Covid-19. Progres pengentasan kemiskinan yang sudah berjalan baik kembali mundur bersamaan dengan status upper-middle income dari World Bank.

Baca Juga: Tiga Tahun Kepemimpinan Jokowi-Ma'ruf, Aprindo: Ritel Belum Jadi Sektor Prioritas

Pandemi ini juga memaksa pemerintah untuk menaikkan defisit APBN menjadi sekitar 6%. Kondisi global pasca pandemi menjadi semakin tidak pasti seiring dengan serangan Rusia ke Ukraina.

Ekonomi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai partner dagang utama mengalami perlambatan. Sementara Inflasi di negara-negara maju memaksa berbagai bank sentral, termasuk BI, untuk menaikkan suku bunga.

“Di tengah keinginan Presiden Jokowi untuk terus meningkatkan investasi, pasar global malah mengalami kesulitan pendanaan. Hal ini menjadi tantangan bagi Indonesia yang membutuhkan investasi untuk menggerakkan sektor-sektor strategis,” ujar Krisna.

Krisna menyebut, Jokowi-Ma’ruf perlu mewaspadai resesi yang mulai diramalkan akan terjadi di berbagai belahan dunia. Meski harga batu bara yang masih tinggi akan cukup menolong, namun tingkat suku bunga The Fed dan nilai tukar Rupiah masih perlu terus dipantau dan diwaspadai.

Performa negara dalam mengumpulkan pendapatan negara melalui pajak dan memanfaatkan RCEP, sebuah perjanjian dagang yang baru saja diratifikasi, akan menjadi kunci yang sangat penting.

Pengumpulan data dan evaluasi jangka pendek maupun jangka menengah dari program-program ini harus terus diupayakan. Jokowi-Ma’ruf harus mampu meyakinkan masyarakat bahwa program-program ekonominya akan membawa manfaat di jangka panjang.

“Tidak hanya itu, karena sifatnya yang jangka panjang, keduanya juga harus mampu meyakinkan pasangan capres-cawapres berikutnya untuk meneruskan kebijakan-kebijakan ini. Atau alternatifnya, mari berharap pasangan calon berikutnya akan memiliki kritik yang cukup koheren dan memiliki ide-ide kebijakan ekonomi yang lebih baik,” jelas Krisna.

Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Sigit Pamungkas menyampaikan, pemerintah akan terus menjalankan berbagai program dan kebijakan strategis dan bermanfaat hingga akhir masa jabatan pada 2024.

Baca Juga: Dua Tahun Sisa Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, Begini Harapan Pengusaha

Sigit mengatakan, program pengentasan kemiskinan ekstrem menjadi salah satu fokus utama. Sebab pemerintah telah menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.

Melalui Inpres tersebut, kementerian/lembaga dan pemerintah daerah akan melalukan upaya demi mencapai target tersebut. Yakni dengan mengidentifikasi daerah, siapa saja yang termasuk dalam kemiskinan ekstrem dan cara penanganannya.

Selain itu, program infrastruktur, kebijakan energi baru dan terbarukan juga menjadi perhatian utama. Lalu, isu pangan, perubahan iklim dan permasalahan sosial yang akan terus dikawal dan dijalankan untuk mengantisipasi dinamika global.

"Presiden sudah menyampaikan supaya di tahun 2024 kemiskinan ekstrem itu menjadi 0%," ucap Sigit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .