KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kabar terkait potensi gagal bayar alias
default yang terjadi pada pengembang real estate China Evergrande Group membuat bursa saham global goyah. Mengingat, Evergrande memiliki total kewajiban mencapai US$ 305 miliar kepada berbagai kreditur, pemasok, dan investor. Adapun dalam waktu dekat, perusahaan yang melantai di bursa saham Hongkong pada tahun 2009 itu mesti membayar bunga sebesar US$ 83,5 juta yang jatuh tempo pada Kamis (23/9). Pembayaran bunga jatuh tempo itu untuk obligasi
offshore yang jatuh tempo Maret 2022. Selain itu, Evergrande juga memiliki kewajiban pembayaran bunga sebesar US$ 47,5 juta yang jatuh tempo pada 29 September mendatang.
Dalam beberapa waktu terakhir, Evergrande telah memberikan pengumuman ke investor mengenai risiko gagal bayar tersebut. Peringatan itu diketahui ketika Evergrande melaporkan dokumen yang mengungkapkan kesulitannya mendapatkan pembeli atas beberapa aset yang mereka jual. Kekhawatiran investor akan kemampuan Evergrande memenuhi sebagian kecil dari kewajibannya ini menekan pergerakan harga sahamnya. Tercatat saham Evergrande sempat melorot 10,2% pada Senin (20/9). Adapun Hang Seng (HSI) pada perdagangan Senin (20/9) juga ambles 3,3%.
Baca Juga: IHSG diproyeksi berbalik menguat pada Rabu (22/9), ini katalisnya Walau kabar Evergrande sempat menekan harga saham dan memperlambat pergerakan Hang Seng, Kepala Riset NH Korindo Sekuritas Anggaraksa Arismunandar mengatakan, kekhawatiran pasar tampak mulai mereda. Pada Selasa (21/9), Hang Seng mampu
rebound 0,51%. "Perusahaan tersebut akan ada obligasi jatuh tempo pekan ini yang memang belum terlihat bagaimana penyelesaiannya. Kemungkinan akan
default. Akan tetapi, situasi memang masih berkembang," kata Anggaraksa kepada Kontan.co.id, Selasa (21/9). Mengingat situasi yang masih berkembang, dia belum bisa memastikan dampak krisis likuiditas Evergrande ke bursa Asia maupun ke IHSG. Apalagi untuk saat ini, pergerakan bursa global maupun dalam negeri masih dipengaruhi oleh sentimen FOMC meeting. Seperti diketahui, pelaku pasar masih fokus mengamati kepastian
tapering off yang akan dilakukan Federal Reserve (The Fed). Investor pun memprediksi, bank sentral Amerika Serikat (AS) ini akan mengumumkan langkah
tapering usai FOMC Meeting. Di sisi lain, pelaku pasar juga masih memperhatikan dampak sistemik kondisi Evergrande terhadap perekonomian China dan kondisi di luar China. Skenario terburuknya, krisis likuiditas Evergrande akan menghambat perekonomian Negeri Tirai Bambu. Sehingga, Indonesia yang merupakan partner dagang China juga akan terdampak, khususnya untuk sektor komoditas. Oleh karenanya, penyelesaian atas krisis ini akan sangat dicermati oleh pelaku pasar ke depan. Senada Analis Sucor Sekuritas Hendriko Gani mengamati, selain dampak yang sistemik seperti
capital outflow akan terjadi apabila kasus Evergrande ini tidak terselesaikan dengan baik. "Kalau bank mereka terkena krisis likuiditas akibat gagal bayar Evergrande, akan memicu
capital outflow dan
panic selling dari investor untuk kembali ke aset
safe haven," jelas dia kepada Kontan.co.id, Selasa (21/9). Akan tetapi, Hendriko bilang, beredar kabar bahwa pemerintah China tengah menangani kasus ini dengan memberikan bantuan terhadap perbankan yang menyalurkan utang ke Evergrande. Sekadar informasi, menurut pemberitaan Kontan.co.id, kewajiban Evergrande melibatkan lebih dari 128 bank dan lebih dari 121 lembaga non-perbankan. JPMorgan memperkirakan, China Minsheng Bank memiliki eksposure tertinggi ke Evergrande. Adapun sejauh ini Hendriko melihat, dampak kasus tersebut ke IHSG masih minim. Asal tahu saja, IHSG masih berada di fase
sideways-nya dengan tertahannya IHSG di atas level 6.000 pada pelemahan hari ini. Di sisi lain, rupiah juga cenderung menguat.
Baca Juga: Menelisik fundamental saham bank besar versus bank digital Lebih lanjut dijelaskan, koreksi yang sempat terjadi pada perdagangan sebelumnya cenderung disebabkan oleh aksi
wait and see investor terhadap keputusan The Fed terkait
tapering off di FOMC. Walau begitu, memang tidak dipungkiri, kasus Evergrande sempat memicu
panic selling sehingga indeks saham lain di seluruh dunia mayoritas terkoreksi.
Melihat kondisi ini, Hendriko menyarankan investor melakukan
buy on weakness saham-saham yang masih memiliki potensi menguat. Sementara itu, Anggaraksa menyarankan, investor untuk lebih memperhatikan indikator berupa data-data yang ada di pasar. Sepengamatannya, isu
tapering off selama ini digadang-gadang akan menimbulkan
outflow. Akan tetapi, mencermati kembali data yang ada, selama sebulan terakhir, investor asing cenderung masih mencatatkan aksi beli bersih atau
net buy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari