KONTAN.CO.ID - Melihat pengunjung gerai jaringan restoran makanan cepat saji lokal yang ramai di beberapa lokasi, membuat Teguh Santoso membulatkan tekad untuk mencoba peruntungan di bisnis itu. Pria yang juga memiliki usaha furnitur ini akhirnya membuka sebuah gerai di awal 2010. Letaknya, di daerah Pamulang, Tangerang Selatan. Ia memilih lokasi tersebut lantaran dekat dengan tempat tinggalnya. Saat itu, dia menyewa sebuah ruko ukuran 50 meter persegi dengan tarif Rp 100 juta per tahun. Total modal awal yang Teguh keluarkan mencapai Rp 200 juta termasuk biaya waralaba (
franchise).
Tapi, usahanya tidak bertahan lama. Setelah 18 bulan buka, ia harus menutup gerainya lantaran sudah tidak mampu membiayai operasional karyawan lagi. Penyebab kebangkrutan, antara lain, masalah manajemen internal dan kurang berhasil dari sisi inovasi. Sejatinya, Teguh bercerita, di bulan-bulan awal, gerainya cukup ramai pembeli. Cuma, karena pengawasan yang kurang dan memercayakan penuh posisi kasir ke karyawan, ia menemukan penyimpangan yang dilakukan pekerjanya. “Banyak penjualan yang tidak dilaporkan, sehingga uang tidak masuk ke kas,” ungkap Teguh. Sedang untuk inovasi, dia sebetulnya sudah mencoba memadukan ayam goreng dengan spageti dan berbagai jenis minuman. Namun, cara ini tidak mampu mendongkrak penjualan gerai. “Daripada terus merugi, ya, sudah saya tutup saja,” imbuhnya. Menurut Djoko Kurniawan, konsultan usaha, apa yang menimpa Teguh adalah hal yang lumrah dan banyak terjadi. Usaha gulung tikar karena kebanyakan pengusaha pemula tidak memperhatikan dan mengawasi bisnisnya dengan baik. Padahal, ketika masih dalam tahap merintis usaha, sangat penting buat pengusaha memastikan langsung bisnisnya termasuk arus kas (cashflow). “Biar tahu kondisi di lapangan sebenarnya,” imbuh Djoko. Keuntungan turun Secara umum, Djoko mengungkapkan, ada beberapa usaha yang memang sudah saatnya menurun dan sudah tidak mungkin diselamatkan. Ini terjadi karena memang bidang bisnisnya sudah tidak cocok dengan keadaan zaman. Contoh, bisnis warung telepon (wartel) sudah tidak mungkin hidup kala telepon seluler (ponsel) berkembang pesat. Sementara untuk sebuah usaha yang seharusnya bisa bertumbuh tetapi menurun dan berujung kerugian, penyebabnya bisa lantaran pemilik tidak serius mengurus bisnisnya. Sangat mungkin, gara-gara mereka tidak terlalu mengerti tentang usaha tersebut dan hanya ikut-ikutan saja. Selain itu, bisa juga karena pengusaha tidak memikirkan bisnisnya mau dibawa ke mana dan hanya sibuk mengurus operasional yang sebetulnya bisa diwakilkan. Menurut Erwin Halim, konsultan usaha dari Proverb Consulting, banyak faktor yang membuat usaha tutup. Tapi secara garis besar, ada dua faktor utama: pemasaran dan keuangan dalam hal ini biaya-biaya. Dengan penjualan yang rendah sementara ada biaya tetap yang setiap hari dan bulan harus dibayar, itu menyebabkan keuntungan bisnis menurun hingga akhirnya bisa bangkrut. Memang, Djoko bilang, indikator yang menunjukkan usaha mulai gagal adalah keuntungan yang terus menurun dan grafik penjualan yang semakin memburuk. Selain itu, juga tampak dari analisis
strength (keunggulan),
weakness (kelemahan),
opportuniy (peluang),
threat (ancaman) alias SWOT. Kalau lebih banyak kekurangan dan ancamannya, maka bisa dipastikan sebuah usaha sudah masuk dalam area yang sulit. Hal lain yang bisa jadi indikator adalah mulai berkurangnya jumlah pelanggan setia, yang berarti juga menurunnya indeks kepercayaan terhadap produk atau jasa yang ditawarkan. Satu hal lagi yaitu angka komplain yang sangat tinggi dan penurunan kinerja karyawan. Usaha, Djoko menilai, sudah saatnya ditinggalkan ketika semua indikator, mulai arus kas, keuntungan, angka penjualan, hingga jumlah pelanggan menunjukkan kemunduran. Termasuk, saat manajemen sudah berusaha sekuat tenaga melakukan perbaikan, tetap saja usaha tidak ada kemajuan. Jika sebuah usaha memang sudah tidak bisa diselamatkan lagi, maka keputusan untuk menghentikan roda bisnis harus segera dilakukan alias exit. Untuk usaha kuliner, jasa, ritel dan bidang lainnya, cara yang dilakukan sama yaitu mulai mengurangi kegiatan operasional dan menyelesaikan semua hal yang masih menggantung. Lalu, mulailah hitung aset yang masih bisa dijual. Langkah selanjutnya, Djoko menuturkan, memindahkan karyawan ke usaha lain jika ada. Kalau tidak ada bisnis lain, harus menyelesaikan pemutusan hubungan kerja dengan baik. Untuk sektor jasa, menurut Erwin, mungkin relatif lebih mudah untuk exit. Tapi tetap, biaya sumber daya manusia (SDM) dan operasional lain harus diperhitungkan. Untuk gedung bisa dilakukan dengan pengalihan sewa kepada pihak lain. Atau, bisa juga menjual bisnis tersebut termasuk SDM-nya. “Menjual bisnis yang sedang merugi bukanlah tidak mungkin,” ungkapnya. Soalnya, banyak yang berpengalaman dalam industrinya dan sudah mempunyai know how juga solusi untuk masalah yang dihadapi sebagian pengusaha. Nah, Erwin bilang, mereka ini bisa menjadi calon pembeli usaha yang dijual. Waktu yang tepat Begitu juga dengan usaha ritel yang
exit strategy-nya bisa dengan menjual atau merger dengan bisnis lain jika memungkinkan. Kalau merger, Erwin membeberkan, sisi positifnya adalah tidak akan kehilangan semua kepemilikan terhadap usaha yang sudah dirintis. Untuk bisnis kuliner, tantangan di bidang ini adalah menemukan formula waktu yang tepat untuk menghitung, kapan saat yang tepat untuk
exit. Namun, jika sudah diputuskan untuk menutup usaha tersebut, maka perlengkapan dan peralatan masih bisa dijual. Opsi inilah yang diambil Teguh ketika menutup usaha resto makanan cepat sajinya. Semua peralatan ia jual ke rekannya yang mau mencoba usaha kuliner. Lumayan, ia memperoleh sekitar Rp 10 juta dari hasil menjual barang bekas. Terkait waktu
exit, Erwin menyebutkan, ada dua tipe. Pertama, waktu bisnis baru dimulai. Kedua, ketika bisnis sudah berjalan dan mulai menurun angka penjualannya alias sudah tua juga mau mati. Pada waktu bisnis baru dimulai, dalam
business organization life cycle, usaha jenis ini ada di tahap perkenalan. “Sebanyak 90% bisnis pemula atau startup, peluang matinya besar. Malah, ada yang bilang, bisa sampai 97%,” ujar Erwin. Di masa awal, modal tidak cukup besar dan kuat. Karena itu, buatlah target yang tidak terlalu muluk, masuk akal, dan wajar. Agar jangan karena target yang berlebihan, akhirnya merugi lalu gulung tikar. Dalam tahap ini, memang usaha harus sudah punya keunikan tersendiri. Kecuali, produk yang berkategori kebutuhan pokok dengan angka permintaan tinggi. “Jika bukan kebutuhan pokok, maka dari awal sudah harus berbeda, supaya usaha tidak termasuk yang mati muda,” kata Erwin. Waktu yang tepat untuk
exit adalah sesegera mungkin, ketika target-target yang dicanangkan tidak terpenuhi. Sisi positifnya, modal yang dikeluarkan belum terlalu banyak.
Sedangkan untuk tipe exit kedua, ketika usaha sudah pada tahap menurun atau decline. Sebelum memutuskan menutup usaha, Erwin bilang, pastikan sudah melakukan inovasi. Misalnya, membuat produk baru, membuka cabang, termasuk pola bisnis yang baru. Bila strategi itu sudah dijalankan tapi belum juga menelurkan hasil yang sesuai harapan, sebaiknya usaha segera ditinggalkan. Menjalankan usaha memang selalu ada tantangan. Namun, jangan sampai tidak tahu kapan saat yang tepat untuk meninggalkan usaha tersebut dan beralih ke bisnis yang lain. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: S.S. Kurniawan