JAKARTA. Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Fahri Hamzah, menilai kurangnya pemahaman filsafat hukum dan filsafat manusia dalam wacana moratorium remisi hukuman dan bebas bersyarat terhadap tahanan kasus korupsi. "Saya heran sama para ahli hukum itu, orang setelah dinyatakan bersalah dan ditahan pada dasarnya kan harus kembali ke masyarakat. Negara menahan seseorang karena dianggap membahayakan masyarakat. Tapi sampai kapan," tanyanya saat dihubungi Kontan Selasa (1/11). Ia mengingatkan bila negara-negara lain ada komite remisi yang secara terpisah mengurus pemberian remisi agar tepat sasaran. Fahri pun mengaku tidak percaya bila dalih moratorium remisi itu melulu untuk efek jera. "Efek jera itu apa? Istilah efek jera ini bukan sesuatu yang cocok bagi semua orang. Kalau orang melakukan kesalahan administrasi, yang kemudian didakwa korupsi bagaimana efek jera. Kesalahan administrasi kan bukan kejahatan yang bersumber dari perilaku menyimpang," tandasnya. Begitu pun, ia mendukung upaya pemberantasan korupsi. Hanya menurutnya yang lebih dibutuhkan saat ini adalah keadilan dan kepastian hukum. "Keadilan dan kepastian hukum ini yang membuat orang taat aturan, tidak mau melanggar hukum. Jangan sampai moratorium remisi ini jadi moratorium menegakkan keadilan," pungkasnya. Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengatakan pihaknya saat ini tengah mengkaji ulang moratorium remisi hukum dan bebas bersyarat terhadap tahanan kasus korupsi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Fahri: Lebih baik kepastian hukum daripada moratorium remisi
JAKARTA. Wakil Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Fahri Hamzah, menilai kurangnya pemahaman filsafat hukum dan filsafat manusia dalam wacana moratorium remisi hukuman dan bebas bersyarat terhadap tahanan kasus korupsi. "Saya heran sama para ahli hukum itu, orang setelah dinyatakan bersalah dan ditahan pada dasarnya kan harus kembali ke masyarakat. Negara menahan seseorang karena dianggap membahayakan masyarakat. Tapi sampai kapan," tanyanya saat dihubungi Kontan Selasa (1/11). Ia mengingatkan bila negara-negara lain ada komite remisi yang secara terpisah mengurus pemberian remisi agar tepat sasaran. Fahri pun mengaku tidak percaya bila dalih moratorium remisi itu melulu untuk efek jera. "Efek jera itu apa? Istilah efek jera ini bukan sesuatu yang cocok bagi semua orang. Kalau orang melakukan kesalahan administrasi, yang kemudian didakwa korupsi bagaimana efek jera. Kesalahan administrasi kan bukan kejahatan yang bersumber dari perilaku menyimpang," tandasnya. Begitu pun, ia mendukung upaya pemberantasan korupsi. Hanya menurutnya yang lebih dibutuhkan saat ini adalah keadilan dan kepastian hukum. "Keadilan dan kepastian hukum ini yang membuat orang taat aturan, tidak mau melanggar hukum. Jangan sampai moratorium remisi ini jadi moratorium menegakkan keadilan," pungkasnya. Seperti diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, mengatakan pihaknya saat ini tengah mengkaji ulang moratorium remisi hukum dan bebas bersyarat terhadap tahanan kasus korupsi.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News