KONTAN.CO.ID -
Produk impor terus membanjiri pasar kita. Sementara manufaktur dan produksi dalam negeri melempem. Orang kini lebih senang impor barang ketimbang memproduksi dan mengekspor barang. Akibatnya, neraca perdagangan kita kian tekor. Upaya pemerintahan Joko Widodo menggenjot pembangunan infrastruktur secara masif, sejauh ini belum berdampak besar pada pertumbuhan ekonomi. Padahal, infrastruktur diharapkan memperlancar arus barang, menekan biaya logistik, dan memacu produksi. Nyatanya, ekonomi hanya mampu tumbuh di kisaran 5% dalam beberapa tahun terakhir. Apa yang salah? Apa akar soal dan bagaimana solusinya? Seberapa besar peran seorang presiden membenahinya? Untuk mengurainya, Wartawan KONTAN Mesti Sinaga berdiskusi dengan Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, Senin (14/1). KONTAN: Tahun lalu, Indonesia mengalami defisit kembar, yakni defisit transaksi berjalan dan defisit perdagangan. Bahkan defisit perdagangan 2018 mencapai yang terburuk dalam sejarah. Apa sebenarnya yang terjadi? FAISAL: Ini disebabkan karena transformasi ekonomi yang tidak lazim. Kalau kita liat pertumbuhan ekonomi kita rata rata 5%. Ini tidak buruk dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi dunia yang hanya 3%. Namun kalau dilihat dari strukturnya, kan ada 17 sektor dalam pertumbuhan ekonomi, yakni 14 sektor jasa, dan 3 sektor penghasil barang, yakni pertanian, pertambangan dan manufaktur. Nah, yang tiga sektor ini kan yang mengekspor, kalau kita lihat dari transaksi dagang. Sementara jasa kita defisit terus. Pertumbuhan sektor jasa, yang tidak memberikan kontribusi positif kepada ekspor bahkan defisit itu, pertumbuhannya hampir dua kali lipat dari barang. Jadi barang tumbuh 3%, sementara jasa yang 14 sektor itu tumbuh 6%-an. Artinya, sektor yang tumbuh cepat adalah sektor yang tidak menghasilkan ekspor pada umumnya. Kecuali dua sektor jasa saja yang berdampak pada ekspor, yakni pariwisata dan remiten tenaga kerja Indonesia (TKI). Selebihnya, secara umum minus. Jadi itu yang
pertama, struktur pertumbuhan kita tidak mengarah ke ekspor. Yang
kedua. Kalau kita lihat sektor penghasil barang, dulu kita surplus. Nah, mulai dari tahun 2008, produk pertanian lebih banyak impor daripada ekspor. Sudah defisit. Lalu tambang migas dan nonmigas digabung, ya, defisit. Manufaktur sejak 2009 kita defisit. Yang surplus tinggal pertambangan nonmigas. Kita ekspor batubara, timah, nikel, bauksit, dan lain-lain yang harganya fluktuatif. Manufaktur dulu surplus. (Dulu) Penanaman modal asing (PMA) masuk ke Indonesia dengan orientasi ekspor. Belakangan ini, PMA berorientasi ke pasar dalam negeri, jadi tidak berdampak ke ekspor. Bahkan PMA malah mengimpor cukup banyak bahan bakunya yang secara proporsional 3/4 impor itu dari bahan baku. Faktor
ketiga, masalah investasi atau lebih tepatnya pembentukan modal tetap bruto.
(Simak juga video wawancara: Faisal Basri (1): Struktur pertumbuhan kita tidak menguntungkan pengusaha manufaktur di KONTAN TV) Investasi kan terbagi dua jenis: ada investasi dalam bentuk fisik yang kelihatan, ada juga yang di pasar modal. Yang saya maksud tadi adalah investasi fisik yang wujudnya kelihatan. Mari kita lihat data. Pada tahun 2017, pembentukan modal tetap bruto terdiri dari konstruksi bangunan, mesin dan peralatan, kendaraan, peralatan lainnya,
cultivated biological resources,
intelectual property product. Dari total investasi fisik itu, sebesar 75,12% dalam bentuk bangunan. Sedangkan mesin dan peralatan sebesar 9,3%. Nah, mesin inilah yang menghasilkan barang untuk kita ekspor. Bangunan bisa bentuknya mall. Mall makin banyak menjual produk impor. Bangunan itu tidak bisa diekspor. Sedangkan jika maksimal mengekspor, porsi dari mesin cuma 9,3%. Nah, tiga faktor ini yang membawa kesimpulan kita bahwa pola pertumbuhan ekonomi kita tidak mengarahkan pada peningkatan kapasitas mengekspor, malah meningkatkan kapasitas kita mengimpor. Bayangkan, Indonesia sudah merdeka 74 tahun, itu kita baru defisit 7 kali, dan terparah tahun lalu. Data Januari-November 2018, kita defisit perdagangan US$ 7,5 miliar naik dibanding periode sebelumnya yang hanya US$ 4 miliar. Ini karena struktur pertumbuhan kita lebih ke arah impor. KONTAN: Apa sebetulnya masalah yang membuat ekspor produk kita, seperti produk pertanian, menurun bahkan defisit? FAISAL: Struktur insentif yang ada di pasar membuat orang makin enggan menghasilkan barang dan membuat orang lebih suka berdagang. Contohnya, generasi awal industriawan tekstil di Jawa Barat kan besar-besar. Generasi keduanya tidak membesarkan kapasitas produksi malah menutup pabrik dan pindah ke properti. Pindah ke dagang. Tadinya mereka punya pabrik tekstil, sekarang impor tekstil dan garmen serta jualan saja. Karena sedemikian banyak kendala untuk menghasilkan barang. Banyak izin yang harus ditempuh, kenaikan upah, biaya logistik mahal. Sementara kalau dagang, saya tinggal impor saja. Buat satu toko, kalau enggak laku, tinggal ditutup. Kalau pabrik
high cost. Sehingga, harusnya insentif yang tinggi itu diberikan kepada industri yang mengarah pada penghasilan barang dan orientasi ekspor. Karena ingat, kalau kita tidak mampu meningkatkan kapasitas menghasilkan devisa lewat ekspor, ada kewajiban-kewajiban kita yang meningkat untuk membayar utang luar negeri. Dan itu tidak bisa pakai rupiah kan? Supaya cocok antara sektor riil dengan moneter. Rupiah yang melemah, belakangan menguat itu kan sifatnya sementara saja. Kok kemampuan kita menghasilkan devisa turun, tapi rupiah menguat? Bisa saja terjadi. Rupiah menguat karena fenomena moneter, sedangkan devisa itu fenomena sektor riil. Rupiah menguat karena belakangan pemerintah banyak berutang. Namun, kan tidak tiap bulan pemerintah berutang. Dan utangnya juga 37,6% dipegang asing. Kalau pemerintah bayar utangmereka akan konversi ke dollar. Jadi, upaya peningkatan kapasitas dari ekspor barang harus lebih serius. KONTAN: Adakah faktor khusus pada 2018 yang membuat defisit perdagangan menjadi yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia? FAISAL: Salah satu penyebab utamanya adalah impor minyak melonjak karena harga minyak melonjak sampai US$ 80 per barel. Tapi bukan hanya minyak, ada juga nonmigas. Jadi intinya, lonjakan impor migas dan nonmigas berbarengan. Pada Januari-November 2017, neraca nonmigas surplus US$ 19,6 miliar. Tapi tahun 2018 surplusnya terpangkas hanya US$ 4,6 miliar. Itu tajam sekali turunnya. Sementara neraca migas defisitnya membesar dari US$ 7,5 miliar menjadi US$ 12 miliar. Kalau minyak saja, defisitnya meningkat dari US$ 13,5 miliar menjadi US$ 18 miliar. Kita pindah ke nonmigas. Kenapa nonmigas, surplusnya menciut? Ada sesuatu yang luar biasa? Tidak juga. Ekspor kita tahun 2018 naik dari US$ 154 miliar menjadi US$ 165 miliar. Jadi penyebab defisit nonmigas karena impor yang melonjak. Impor yang melonjak ini tumbuh 3 kali lipat pertumbuhan ekspor. Mari kita lihat, apa saja yang sih yang kita impor? Kita lihat permintaan sepatu, beras, dll tidak ada yang naik signifikan. Namun yang menarik, impor beras melonjak dari 300.000 ton menjadi 2,2 juta ton. Padahal tidak ada permintaan beras yang meningkat. Impor ban meningkat 100%. Impor baja, gula juga tajam. Ada apa ini? Tidak bisa dijelaskan secara ekonomi yang kita lihat sehari-hari. Berarti ada faktor lain, antara lain selain pemerintah membangun jalan tol memperlancar jalan, pemerintah juga memuluskan impor. Contohnya, tahun lalu produksi garam naik karena kemarau panjang. Produksi garam (tahun 2018) sebanyak 2,7 juta ton. Sehingga, kita hanya butuh impor garam 2 juta ton. Tapi izin impornya 3,7 juta ton. Begitu pula dengan gula. Produksi landai 2 juta ton. Sementara kebutuhan 6 jutaan ton, kata pemerintah, sehingga dibutuhkan impor 4 jutaan. Padahal, kebutuhan industri makanan dan minuman tidak melonjak, hanya butuh 3,2 juta ton plus kebutuhan masyarakat 2 juta, jadi total kebutuhan 5,2 juta ton. Namun kenyataannya, impor lebih dari 6 juta ton. Jadi sekarang stok gula dalam negeri sampai 1 juta ton. Ini stok gula terbanyak dalam sejarah Indonesia. Salah satu faktornya adalah, harga gula luar negeri lebih murah. Dijual di dalam negeri dengan keuntungan yang lezat. Jadi yang muncul adalah praktik pemburuan rente, yang polanya mirip untuk gula, garam, dan beras. BPS baru mengumumkan bahwa surplus 2,8 juta ton pada 2018. Tapi mengapa impornya melonjak dari 300.000 menjadi 2,2 juta ton? Oleh karena itu, Pak Buwas bilang gudang saya udah penuh. Kenapa masih impor?? Kenapa kita titik fokus pada beras, gula, dan garam? Karena di belakangnya ada nasib puluhan juta petani. Kalau kedelai mungkin tidak terlalu banyak. Ini mengakibatkan serapan punya petani pasti terganggu, bisa hanya 60%. KONTAN: Bagaimana dengan argumentasi bahwa impor dilakukan untuk mengendalikan harga? Dan memang, inflasi kita kan cukup terjaga? FAISAL: Harus diingat, mengamankan harga itu pada level berapa. Misalnya, harga di negara antah berantah 100, tahun lalu. Tahun ini 150. Jadi inflasinya 50%. Di Indonesia, harga 1000 terus naik menjadi 1.100. Inflasinya 10%. Lebih rendah dibanding negara antah berantah, tapi levelnya tinggi. Rente itu terkait dengan level. Inflasi rendah tapi pada harga yang tinggi. Sehingga, konsumen harus merogoh kocek lebih dalam sehingga daya beli terpukul. Ingat, harga beras kita juga lebih mahal daripada harga dunia. Syukur kalau petani yang menikmati, masalahnya pemburu rente yang menikmati. Jadi jangan berhenti pada inflasi. Inflasi rendah bisa jadi pada level harga yang sangat tinggi. Stabil tinggi. Jadi tuntutannya masyarakat minta kenaikan upah. KONTAN: Soal perburuan rente, sinyalemennya dilihat dari apa? FAISAL: Selisih harga gula di Indonesia dan selisih harga gula di dunia. Intinya harga kita lebih mahal. Pada awal Jokowi menjabat, harga gula di pasar Indonesia dibandingkan dengan harga internasional 2,6 kali lipat. Tapi sekarang selalu di atas 3 kali lipat. Khususnya pasca pak Enggar menjabat. Semakin lebar harganya, maka potensi rentenya pun makin tinggi. Harga dunia turun tajam, tapi harga Indonesia turun landai. Kalau harga dunia naik, harga di Indonesia ikut naik cepat. Dari perbedaan harga ini, kita masuk ke
supply dan
demand gula. Kalau Indonesia membolehkan ekspor dan impor bebas, maka apa yang terjadi? Harga dunia akan sama dengan di Indonesia. Pada harga rendah konsumen untung. Oleh karena itu lah pemerintah membatasi impor. Ringkas kata, ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Yang rugi? Konsumen pastinya. Produsen? Ada untung, namun belum puas agar bisa dinaikkan keuntungannya. Kalau menghambat impor dengan bea masuk, maka uang akan masuk ke pemerintah. Kalau dengan kuota, tidak bayar secara resmi. Tapi secara tidak resminya, enggak ada yang gratis. Itulah yang namanya rente. Nilainya, hitungan saya, triliunan. Tidak hanya di Indonesia, hal seperti ini juga terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat Pertanyaannya, mengapa korupsi ratusan juta, misal anggota DPRD dipenjara beberapa tahun, sementara korupsi triliunan ini lancar seperti jalan tol? Korupsi kebijakan ini yang harus ditangani juga. Mengapa? Inilah tugas media. Kalau harga beras tinggi, semua menjerit. Kalau harga pesawat naik semua menjerit. Nah, mengapa kalau harga gula tinggi tidak ada yang menjerit? Karena sebanyak-banyaknya kita konsumsi gula, nilainya per orang per tahun tak begitu besar. Ongkos demo ke istana saja bisa lebih besar daripada nilai penurunan harga gula. Namun jangan salah, triliunan tadi dibagi hanya ke 11 pengusaha gula rafinasi. Jadi, pengusaha punya insentif untuk tetap berburu rente berapapun selama masih masuk hitungan mereka. Itulah yang bisa menjelaskan apa yang terjadi. KONTAN: Lantas, apa solusinya agar harga tak membuat konsumen menjerit, namun di sisi lain petani juga tidak mati ? FAISAL: Gula itu dibeli oleh masyarakat untuk rumah tangga dan ada juga yang oleh industri. Ada perkiraan hitungan berapa kebutuhan individu mengkonsumsi gula, sehingga bisa dihitung kebutuhan nasionalnya. Industri juga sama. Jadi, kalau perencanaan teknokratiknya baik tanpa campur tangan politik saya rasa akan baik-baik saja. Faktanya adalah, kemarin saya dari Palembang. Di situ saya beli gula di supermarket, ternyata itu gula rafinasi. Harusnya ini untuk industri, namun kenyataannya saya dengan mudah dapat untuk konsumsi. Harganya Rp 12.500 per kilogram. Jadi, demikian mudahnya mengendalikan 11 perusahaan dibandingkan petani yang jutaan. Bisa dicek, ada alamatnya. Namun kalau pemerintah mau menekan kuota, tapi bertanya kepada mereka, maka mereka akan mengatakan stok di gudang pedagang sedikit, supaya menjustifikasi impor. Padahal di gudang mereka stok banyak. Jadi pengawasan dan pengendalian masalahnya. Kita tidak anti impor. Namun hitungannya harus benar. Karena kalau gula rafinasi dijual bebas ke pasar, niscaya gula petani tidak dibeli pedagang. Karena harganya mahal. Kita harus melindungi petani. Namun kalau pemerintah memberikan lisensi impor sangat besar, melebihi kebutuhan, maka pedagang ini dengan cara apapun akan menjualnya di dalam negeri. Bahkan pemerintah tutup mata membolehkan gula rafinasi dijual di pasar agar harga gula terkendali. Ini perencanaan tidak beres. Ini sama saja mengorbankan petani agar menjaga inflasi rendah. Tetapi caranya sangat mahal, dan dampaknya buruk. Kan ada juga cara yang lebih murah, yakni dengan perencanaan yang baik. Itu yang elok. KONTAN: Perburuan rente ada kaitannya dengan pengumpulan dana politik? FAISAL: Teori politiknya mengatakan begitu. Jadi
political economy of trade policies pakai pendekatan
logic of collective action. Ini kan tidak logis, kok rakyat diam aja. Padahal triliunan. Jadi KONTAN: Program Presiden Joko Widodo ini kan, katanya bertahap, infrastruktur dulu, baru sektor lain akan bergerak kencang. Bagaimana pandangan Anda? FAISAL: Infrastruktur akan memuluskan penetrasi barang-barang sampai ke desa. Lihat saja buah impor merajalela. Jadi yang subur malah impor. Di Palembang, saya temukan mangga Brasil lebih murah daripada mangga arumanis. Di Medan ada pabrik obat yang botol obat batuk ukuran tertentu, 100% impor dari China. Karena ongkos angkut dari Guangzhou ke Belawan lebih murah daripada dari Jawa ke Medan. Jadi, kalau membangun infrastrukturnya dengan orientasi sekarang, itu tidak akan meningkatkan daya saing kita. Kenapa? Dari Brasil dan China diangkut dengan kapal laut, biaya lebih murah. Sementara yang kita kembangkan malah transportasi darat yang ongkosnya lebih mahal. Maka industri kita tak berkembang. Kita tidak anti pembangunan infrastruktur. Ingat, Tol Sumatra merupakan pelengkap dari jembatan Selat Sunda, program SBY. Kini, jembatannya dibatalkan, malah tolnya jalan terus. KONTAN: Bukankah ada program tol laut? FAISAL: Dari nama juga sudah menyesatkan: “tol laut”, otak orang darat. Konsep darat
ditaro di laut. Sadarilah ini: di dunia ini yang karakteristik logistik berbeda beda, 60-70% barang diangkut via laut. Di Indonesia cuma 10% yang diangkut pakai laut. Ajaib. Sebenarnya yang terabaikan tidak hanya laut. Udara juga macet. Laut dan udara terkendala. Kalau laut ongkosnya lebih murah pembangunannya. Tinggal pelabuhannya diperdalam agar kapal besar bisa menggunakan. Ada hitungan teman, Rp 22 triliun selesai semuanya. Indonesia akan kembali berjaya nanti seperti Majapahit dan Sriwijaya, kalau kita bisa mengarahkan kembali ke sektor laut. Oleh karena itu, ujung tombak kita ada di kawasan timur. Jadi tidak ada masalah letak geografis yang jauh selama ongkosnya murah. Jadi, yang belum terjadi sekarang adalah integrasi perekonomian nasional. Ini tecermin dari disparitas yang sangat tinggi. Caranya malah simbolik dengan BBM dibikin satu harga supaya mengesankan tidak ada perbedaan harga, beberapa juga mau dibikin satu harga. Semen. Ini mengerikan. KONTAN: Soal manufaktur yang lemah, apakah itu karena lemahnya industri dasar kita? FAISAL: Benar. Pilar industri itu ada dua, yakni logam dasar dan kimia dasar. Kalau kita lihat, di luar negeri, petrokimia dan kilang terintegrasi. Malaysia dan Singapura terintegrasi. Kita, Chandra Asri tidak punya kilang. Akhirnya, terjadi
missing industries. Logikanya, kita harus punya visi mengintegrasikan. Kilang dibangun pipa ke industri hilir, sehingga tidak ada kebocoran lagi. Makanya harus dibikin mekanisme agar praktik rente dipersulit. Misal, zaman Reza Chalid dulu fee minyak US$ 0,5–US$ 1 per barel. Atas upaya teman-teman, berhasil dibuat mekanismenya sehingga sekarang tidak lebih dari 20 sen saja. KONTAN: Terkait Pilpres 2019, dari kedua paslon, mana yang program ekonominya paling menjawab persoalan? KONTAN: Terkait Pilpres 2019, dari kedua paslon, mana yang program ekonominya paling menjawab persoalan? FAISAL: Sementara ini tidak ada perbedaan signifikan antara keduanya. Masih bicara kedaulatan pangan, kemiskinan, dan sebagainya. Kita kehilangan perspektif ideologis. Kalau di Malaysia dan AS, misalnya, jelas perbedaan ideologi antara paslonnya. Kalau di kita, yang penting menang dulu. Misal, Pak Jokowi dulu bilang, masa cabai saja kita impor. Setelah menang, justru impor. Prabowo juga janji mengurangi asing yang sangat sulit diwujudkan. KONTAN: Apa usulan Anda untuk siapapun yang kelak terpilih jadi presiden, terkait perbaikan struktural ekonomi Indonesia? FAISAL: Bahan baku produk kita harus murah, sehingga banyak produk bisa dibikin oleh UKM. Kalau kita mulai dari potensi yang ada, kita bisa terbang tinggi. Bahan baku kita lengkap. Pasar kita ada 265 juta. Penduduk usia kerja di ASEAN 41%-nya di Indonesia. Ini yang tidak dipunyai Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia. Tinggal kita butuh pemimpin yang mampu merajut potensi-potensi ini, yang tidak cenderung melakukan sesuatu yang hasilnya harus bisa dilihat saat ia berkuasa, secara jangka pendek. Jadi, mari kita manfaatkan peluang dan potensi untuk maju. Apapun targetnya, kalau kita tidak membenahi sektor produksi, maka apapun kebijakan kita hanya akan meningkatkan angka impor. ◆ Biodata Riwayat pendidikan: ■ Sarjana Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI), Jakarta ■ Master of Arts (MA) bidang Ekonomi, Vanderbilt University, USA
Riwayat pekerjaan: ■ Dosen, Fakultas Ekonomi UI (1981-sekarang), dan kini mengajar di Program Pascasarjana UI, Program Magister Manajemen Universitas Tanjungpura, dan Pascasarjana Universitas Paramadina. ■ Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (2014) ■ Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (2000-2006) ■ Anggota Tim Asistensi Ekonomi Presiden RI (2000) ■ Rektor STIE Perbanas (1999-2003) ■ Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi & Studi Pembangunan FEUI (1995-98) ■ Ketua LP3E Kadin Indonesia (2009-2010). ■ Direktur LPEM FEUI (1993-1995) ■ Pendiri Partai Amanat Nasional ■ Penggagas dan Ketua Presidium Nasional Pergerakan Indonesia (PI) ■ Pendiri Institute for Development of Economics & Finance (Indef)
* Wawancara dengan Faisal Basri ini juga kami sajikan dalam rubrik Dialog di Tabloid KONTAN edisi 21-27 Januari 2019. Untuk mengaksesnya silakan klik link ini: Infrastruktur Muluskan Penetrasi Barang Impor * Versi video wawancara ini, lengkap dengan data-datanya, silakan klik : Faisal Basri (1): Struktur pertumbuhan kita tidak menguntungkan pengusaha manufaktur Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga