KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri menanggapi soal membesarnya utang Indonesia yang kian ramai diperdebatkan. Terutama, pasca pernyataan kontroversial calon presiden Prabowo Subianto mengenai penyebutan Menteri Keuangan yang mesti diganti menjadi "Menteri Pencetak Utang." Dalam tulisan yang diunggah di situs resminya, Faisal berpendapat, kenaikan utang pemerintah di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang tak bisa diabaikan. "Selama kurun waktu 2014-2018, utang pemerintah pusat naik 69%, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55%," tulisnya, Minggu (27/1).
Kendati begitu, Faisal mengatakan, bukan besarnya utang yang menjadi persoalan, tetapi seberapa besar potensi kemampuan pemerintah untuk melunasi utang tersebut. Lazimnya, kemampuan tersebut dikaitkan dengan kemampuan perekonomian menghasilkan pendapatan yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB). Jika PDB meningkat, maka kemampuan pemerintah menarik pajak juga naik. Pajak itulah yang pada gilirannya digunakan untuk membayar bunga dan cicilan utang. Rasio utang pemerintah terhadap PDB saat ini menurut Faisal, masih tergolong sangat rendah karena tak mencapai 30%. "Bandingkan dengan Jepang yang nisbah utangnya 250% PDB, tertinggi di dunia. Bandingkan juga dengan Amerika Serikat yang nisbah utangnya 105% PDB," ujarnya. Namun, Faisal menekankan, sekalipun rasio utang pemerintah Jepang delapan kali lipat lebih tinggi dari Indonesia, Jepang juga memberikan utang kepada negara lain. Piutang Jepang termasuk kepada Amerika Serikat (AS) dalam bentuk surat utang maupun kepada Indonesia dalam bentuk pinjaman (
loan) dan juga surat utang. Bahkan, Jepang merupakan pemegang surat utang pemerintah AS terbesar kedua setelah China. Belum lagi, suku bunga surat utang yang dikeluarkan pemerintah Jepang sangat rendah. Sekitar 90% surat utang pemerintahnya juga dibeli oleh rakyatnya sendiri, sehingga dana pembayaran bunga tetap beredar di dalam negeri. "
Yield surat utang pemerintah Jepang bertenor 10 tahun hanya nol koma nol sekian persen, salah satu yang terendah di dunia," tutur Faisal. Dengan demikian beban utang tidak besar dampaknya terhadap stabilitas makroekonomi Jepang. Sebaliknya, surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (
local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar, bahkan terbesar di antara negara
emerging markets. Faisal menilai, ini yang mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal.
Yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 8,1% per 25 Januari 2019. "Sekalipun utang pemerintah Indonesia masih relatif rendah, namun beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat," kata dia. Hal ini Faisal tunjukkan dengan data pembayaran bunga utang pada 2014 yang baru mencapai 7,5% dari total belanja negara dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat. Tahun 2018, masing-masing naik menjadi 11,7% dan 17,9%. "Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang lah yang tumbuh paling tinggi yaitu 94%, lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%," rinci Faisal. Sebagai perbandingan, AS yang rasio utangnya jauh lebih tinggi dari Indonesia, rupanya hanya mengalokasikan pembayaran bunga utang sebesar 7% dari belanja total pada tahun anggaran 2018. Selain itu, APBN AS juga dialokasikan untuk belanja sosial yang langsung diterima oleh rakyatnya, antara lain dalam bentuk perlindungan sosial dan kesehatan (
medicare dan
medicaid).
"Akibat beban pembayaran bunga yang terus meningkat di Indonesia, alokasi untuk belanja sosial tak kunjung naik, bahkan turun," tukas Faisal. Faisal menilai, peningkatan utang pemerintah sejatinya bisa dikurangi jika kemampuan pemerintah menarik pajak bisa ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini ialah rasio penerimaan pajak (
tax ratio) justru cenderung melambat. "Baru tahun 2018 (rasio pajak) sedikit naik setelah empat tahun berturut-turut sebelumnya selalu turun. Dibandingkan dengan negara tetangga, nisbah (rasio) pajak kita sungguh sangat rendah," tutup Faisal. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Herlina Kartika Dewi