KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan praktik pelanggaran ekspor bijih nikel masih terjadi di awal penerapan larangan ekspor pada awal 2020 lalu. Faisal menjelaskan, jika merujuk data badan Pusat Statistik (BPS) maka pada tahun 2020 lalu memang tidak ada ekspor untuk produk HS 2604 (bijih nikel dan konsentrat). Akan tetapi, berdasarkan data General Customs Administration of China terdapat impor dari Indonesia untuk produk tersebut dengan volume mencapai 3,4 juta ton.
"Di 2020 kemarin masih ada 3,4 juta ton impor dari Indonesia dengan nilai US$ 193,6 juta atau setara Rp 2,8 triliun (dengan kurs Rp 14.577 per dolar AS)," ungkap Faisal dalam diskusi CORE Media Discussion, Selasa (12/10). Dia menambahkan, kondisi ini serupa dengan yang terjadi di tahun 2014 dimana saat itu pemerintah sempat memberlakukan larangan ekspor untuk mineral termasuk nikel namun tetap terjadi kebocoran ekspor. Kebocoran ekspor ini pun dinilai berdampak pada kehilangan potensi penerimaan negara dari pajak ekspor. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan, dalam catatan APNI pada akhir 2019 lalu di rentang bulan November hingga Desember sempat terjadi penghentian pengiriman.
Baca Juga: Menakar potensi nikel Indonesia untuk industri kendaraan listrik dunia Para pelaku usaha terpaksa harus menunda pengiriman sebab pemerintah mencurigai praktik ekspor yang terjadi pasalnya terjadi lonjakan pengiriman dari yang biasanya 50-an vessel naik menjadi 150 vessel jelang akhir tahun. Meidy mengungkapkan pelarangan ekspor yang bakal diberlakukan di awal tahun membuat para pelaku usaha pertambangan meningkatkan pengiriman demi mencapai kuota yang tersisa. "Kalau secara logika, misalkan perusahaan pertambangan mendapatkan kuota ekspor 100 juta ton, yang baru terpakai (jelang akhir tahun) 500.000 ton atau 300.000 ton," terang Meidy. Untuk itu, beberapa kapal akhirnya baru bisa keluar di Januari atau Februari pasca seluruh verifikasi dokumen rampung.
Dalam kondisi ini, Meidy menilai mungkin saja ada perusahaan yang mencari "jalan tikus" atau celah untuk tetap melakukan ekspor. Namun, menurutnya kondisi yang terjadi berdasarkan data yang mereka miliki yakni pemberhentian pengiriman akibat verifikasi dokumen lah yang membuat masih ada ekspor di awal tahun. Meidy menambahkan, meskipun terjadi ekspor, para pelaku usaha justru harus menanggung biaya
demurrage yang jauh lebih besar ketimbang nilai kargo dari ekspor. Selain itu, kondisi saat itu pun tidak memungkinkan komoditas dijual ke dalam negeri karena tidak ada pembeli mengingat produk masuk kategori
low grade. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari