Fakultas Kedokteran berebut mayat tanpa identitas



JAKARTA. Jumlah mahasiswa kedokteran di Jawa Timur, khususnya Surabaya dan Malang, dari tahun ke tahun semakin banyak. Namun, beberapa universitas masih juga membuka fakultas kedokteran (FK) baru, meski hal itu belum diimbangi sarana perkuliahan yang memadai.

Universitas Airlangga (Unair) Surabaya dan Universitas Brawijaya (UB) Malang boleh dikatakan sebagai kampus paling siap menyelenggarakan perkuliahan kedokteran. Dua kampus negeri itu saat ini sudah memiliki rumah sakit pendidikan untuk melengkapi sarana pembelajaran.

Meski demikian, ada masalah yang sulit dipenuhi di hampir semua fakultas kedokteran, baik negeri maupun swasta, yakni menyediakan mayat untuk keperluan praktik bedah anatomi (kadaver).


Semakin banyaknya mahasiswa kedokteran tak sebanding dengan tersedianya kadaver untuk praktik mahasiswa yang rata-rata dimulai pada semester II. Apalagi, kadaver tak hanya dibutuhkan mahasiswa kedokteran umum, melainkan juga untuk mahasiswa kedokteran gigi dan ilmu kebidanan.

Mahasiswa kedokteran gigi butuh kadaver untuk mempelajari bagian kepala sampai leher. Tubuh utuh akan dipakai bahan praktik bedah bagi mahasiswa kedokteran umum. Sedangkan para calon bidan butuh kadaver untuk mempelajari detail bagian perut ke bawah.

Untuk memenuhi kebutuhan kadaver, kampus di wilayah Surabaya biasanya mengandalkan pasokan mayat tanpa identitas atau Mr/Mrs X dari RSU Dr Soetomo Surabaya. Sedangkan untuk kampus di wilayah Malang dari RSU dr Saiful Anwar (RSSA) dan wilayah Jember dari dari rumah sakit daerah setempat.

Tentu saja jumlah pasokan mayat tidak pernah pasti. Kadang melimpah, namun sering juga tak ada yang bisa disetor ke kampus.

Tidak semua mayat dengan label X juga bisa menjadi media mata kuliah bedah anatomi. Hanya mayat dengan kondisi baik yang bisa dimanfaatkan.

Tidak jarang mayat yang dikirim ke ruang jenazah RSU Dr Soetomo atau RSU dr Saiful Anwar dalam keadaan membusuk, sehingga sulit sekali dipakai untuk mempelajari anatomi tubuh, karena banyak organ yang sudah rusak.

Dari data yang diperoleh Surya di ruang jenazah RSU Dr Soetomo, pada 2012 jumlah mayat tanpa identitas (T4/ tempat tinggal tidak tetap) 61 jenazah.

Sedangkan jumlah mayat yang harus menjalani otopsi ada 92 jenazah. Pada 2013 hingga September 2013, tercatat ada 34 mayat T4 dan 62 jenazah yang diotopsi.

Melihat melambungnya jumlah mahasiswa kedokteran, jumlah kadaver yang tersedia jelas tidaklah memadai. Ambil contoh FK Unair dan FK UB, jumlah mahasiswa satu angkatan bisa mencapai 250-300 orang. Kaklau untuk satu angkatan di FK Unair saja butuh minimal 20 kadaver, betapa besar jumlah total kadaver yang diperlukan bagi semua mahasiswa itu.

Terbatasnya jumlah kadaver untuk praktik mahasiswa kedokteran ini jelas berimplikasi pada proses pembelajaran. Harus benar-benar menggunakan kadaver seefektif dan seefisien mungkin, meskipun ini berarti pembelajaran kurang maksimal.

Ivan Bintang, mahasiswa FK UB angkatan 2012 asal Jakarta, menuturkan, setiap kali praktik ada sekitar 10 kelompok yang terdiri 9-15 mahasiswa. Masing-masing kelompok ini mendapatkan satu kadaver.

"Tapi kami tidak boleh membedah. Yang kami lakukan adalah mengamati dan menyentuh bagian-bagian yang dijadikan objek praktik," kata Bintang.

Dekan FK UB Dr dr Karyono Mintaroem SpPA mengungkapkan, saat praktik anatomi, mahasiswa memang tidak diperkenankan membedah.

Pembedahan dilakukan oleh dosen praktikum agar mahasiswa tidak sembarangan memotong kadaver. "Yang dilakukan mahasiswa hanya identifikasi dan mencocokkannya dengan atlas anatomi atau check list yang dijadikan bahan praktik. Saat ujian praktik, mahasiswa memberi bendera pada bagian-bagian kadaver ini," jelasnya. (idl/ab/isy/Tribunnews.com)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan