KONTAN.CO.ID - SUMATRA SELATAN. Anak-anak warga Suku Anak Dalam bakal memiliki fasilitas pendidikan yang akan digunakan setiap hari. Selama ini, anak-anak usia sekolah dasar (SD) itu belajar bersama dua hari dalam sepekan. Kini, anak-anak warga Desa Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Sumatra Selatan itu senang dengan kehadiran balai pendidikan di kampung mereka.
Baca Juga: Sejumlah kemajuan yang dialami orang rimba di Jambi Bagi warga Suku Anak Dalam di desa itu, memiliki fasilitas pendidikan adalah mimpi yang menjadi kenyataan. “Saya senang karena bisa belajar setiap hari,” tutur Rika, anak perempuan warga Suku Anak Dalam berusia 11 tahun, dalam rilis yang diterima Kontan.co.id, Senin (21/6) lalu. Dengan wajah semringah, gadis warga Desa Pagar Desa itu mengungkapkan, sebelum balai yang terbuat dari kayu dan bambu berukuran 6x8 meter ini berdiri, anak-anak usia sekolah hanya bisa belajar bersama dua hari dalam sepekan. Tempat belajar mengajarnya pun seadanya. Sebelum ada saung, anak-anak belajar di balai kecil yang dibangun secara swadaya. Balai itu digunakan bergantian dengan ibu-ibu setempat yang mengenyam ilmu bercocok tanam. Adapun untuk tenaga pengajarnya, selama ini didatangkan dari luar kampung atau sekolah terdekat dengan Jambi. Pendirian balai itu terwujud atas inisiatif Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Kecamatan Bayung Lencir dan Kabupaten Muba untuk warga SAD di wilayah Rompok Soak Buring, Desa Pagar Desa, Kecamatan Bayung Lencir, Muba dan Desa Pangkalan Bayat. Saat ini pembangunan yang dimulai sejak Maret sudah mencapai 40%. Pembangunan agak tersendat karena ada kendala akses pengiriman material. "Harapan kami awal tahun ajaran baru saung tersebut sudah bisa digunakan," kata Kepala Desa Pagar Desa, Firman Luter Hia. Harapan itu agaknya akan segera terwujud. Ketua TP PKK Kabupaten Muba, Thia Yufada Dodi Reza, yang merupakan istri Bupati Muba Dodi Reza Alex Noerdin, telah berkomitmen meresmikan penggunaan balai tersebut pada 26 Juli 2021. Tanggal itu sengaja dipilih dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional.
Baca Juga: Orang Rimba didorong untuk lebih mandiri di tengah pandemi Di Desa Pagar Desa yang terdiri dari 25 Kepala Keluarga memiliki 27 anak usia sekolah. “Semuanya tingkat SD,” ujar Firman. Mereka memang sangat ingin memiliki sarana pendidikan. “Hasrat belajar mereka tinggi sekali,” tutur dia. Demi mewujudkan keinginan itu, warga lantas menyampaikan aspirasinya ke pemerintah desa. Gayung pun bersambut. “Alhamdulillah ada kerjasama dari pihak kabupaten dan kecamatan bersama pihak ketiga yang bisa membantu SAD ini," ujar dia seraya berharap fasilitas pendidikan ini dapat memberantas buta huruf di desanya. Pihak ketiga itu adalah PT Marga Bara Jaya, yang menyalurkan bantuan melalui program tanggung jawab sosial korporasi (CSR). Pendi, tokoh masyarakat setempat, menyambut baik pendirian balai. "Kami ingin anak-anak mendapatkan pendidikan yang layak, maka itu saung ini sangat penting agar mereka punya tempat belajar. Jangan sampai anak-anak seperti kami orangtuanya yang buta huruf," kata dia. Firman menambahkan, saung belajar ini tentu sangat membantu anak-anak memperoleh pendidikan, ibaratnya pengganti gedung sekolah. "Maka itu seluruh SAD yang ada bisa membaur terhadap masyarakat saat mendapatkan pendidikan," kata dia. Menerima modernisasi Dalam jangka panjang, diharapkan dari saung ini jumlah masyarakat SAD terdidik akan meningkat. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah masyarakat SAD yang mengecap pendidikan dari tingkat SD hingga perguruan tinggi naik cukup pesat. Ini tak terlepas dari pengaruh modernisasi yang merambah pemukiman mereka. Masyarakat SAD di Bayung Lencir pada umumnya sudah beradaptasi dengan masyarakat umum, seperti berpakaian, menetap di rumah. Mereka juga memiliki televisi, radio bahkan parabola.
SAD atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Jumlah populasi mereka saat ini diperkirakan mencapai 200.000 orang. Pada umumnya mereka hidup secara nomaden dan mencari nafkah dengan berburu dan mengumpulkan buah-buahan dari hutan. Walau tak sedikit di antara mereka yang saat ini menetap di suatu tempat dan berbaur dengan warga sekitar. Banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lain. Banyak juga warga SAD di daerah Musi dan Rawas menerima modernisasi termasuk penggunaan kendaraan bermotor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro