KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penggunaan mata uang kripto atau
cryptocurrency secara resmi dinyatakan haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Fatwa hukum uang kripto ini disahkan dalam Forum
Ijtima Ulama se-Indonesia ke-VII. Mata uang kripto dinilai mengandung gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 17 tahun 2015. Terkait hukum
cryptocurrency dari musyawarah yang sudah ditetapkan ada tiga diktum hukum. Penggunaan
cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram," ujar Ketua MUI Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh dikutip dari Kompas.com
Ia bilang, mata uang kripto sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai
sil'ah dan memiliki
underlying serta memiliki manfaat yang jelas sah untuk diperjualbelikan. Syarat sil'ah secara syar’i, kata Asrorun, mencakup keberadaan wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli. "
Cryptocurrency sebagai komoditi atau aset yang memenuhi syarat sebagai
sil'ah dan memiliki
underlying serta memiliki manfaat yang jelas sah untuk diperjualbelikan," kata Asrorun. Mengomentari hal ini,
Co-founder CryptoWatch dan Pengelola Channel Duit Pintar Christopher Tahir menyatakan, keputusan tersebut agak sedikit rancu dan
double standard, mirip dengan apa yang disampaikan PWNU Jatim kemarin. Namun di fatwa tersebut ada "pembaharuan" alasannya. Ia menyoroti satu
statement yang dianggap cukup rancu, yakni
cryptocurrency tidak ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli. Christopher coba membedah pernyataan tersebut dengan Bitcoin sebagai acuan, karena tidak dipungkiri beberapa aset kripto lain memang tidak memenuhi hal tersebut.
Baca Juga: Mencari Peluang di Pasar Kripto Pasca Bitcoin dan Ether Rekor Dari segi wujud fisik, ia membandingkannya dengan rupiah yang saat ini memang masih memiliki wujud fisik, namun ketika nanti ada peralihan semuanya ke rupiah digital, apakah nantinya mata uang rupiah lantas akan jadi haram? Menurut dia, alasan yang satu ini kurang relevan di zaman yang sudah serba digital. Lalu dari segi memiliki nilai, sejak dibubarkannya perjanjian Bretton Woods, seluruh mata uang di dunia tidak lagi dicetak berdasarkan adanya backup emas di balik layar. Lantas kalau dulu mudah menilai mata uang yaitu dengan adanya emas. Bitcoin dalam hal ini valuasinya mirip dengan emas, yaitu dengan biaya produksi,
supply dan
demand serta kelangkaannya. Berikutnya, aspek diketahui dalam jumlah pasti. Dalam hal, Christopher menafsirkan maksudnya adalah unit yang beredar dan akan beredar. Ia bilang, bitcoin saat ini unit beredarnya pasti, dan jumlah akhirnya juga pasti, yaitu 21 juta Bitcoin. Sementara jika mata uang rupiah, apakah dapat diketahui dengan pasti beredarnya berapa banyak, lalu jika ternyata tidak diketahui jumlahnya, apakah artinya rupiah nanti menjadi haram?
“Dari sisi hak milik, Bitcoin juga sudah jelas karena semua tercatat pada buku besar yang datanya tidak bisa diubah sehingga justru memberikan kita kepastian akan hak milik. Lalu, seluruh transaksi juga sudah dicatat di buku besar tadi yang bisa diperiksa oleh publik, sehingga pemindahan hak atas kepemilikan menjadi lebih jelas,” jelas Christopher kepada Kontan.co.id, Jumat (13/11). Sementara Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menilai fatwa MUI tersebut merupakan hal yang sah-sah saja karena memang berdasarkan pandangan masing-masing pihak. Kendati ada fatwa tersebut, toh ia menilai tidak akan lantas memberi dampak ke industri kripto serta perkembangannya ke depan. “Aset kripto sebagai produk aset global yang sudah tersebar di seluruh dunia serta punya komunitas investor dan
trader yang sudah sedemikian besar tidak akan terpengaruh. Apalagi, komunitas ini kan memang unik karena tidak peduli terhadap regulasi, aturan dan sebagainya, yang memang dari awal identik dengan sifat
anonimnya kripto seperti Bitcoin,” tutup Sutopo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .