Finaldo Moechtar, Pencipta Baju Muslim Al Husna



finaldom_cheppy-amuchlisFINALDO Moechtar termasuk pionir di bisnis busana muslim. Ia sudah merintis bisnis busana ini sejak belum populer. Berkat konsistensinya, kini ia mengecap sukses sebagai pemasok busana muslim ke gerai ritel modern. Omzetnya ratusan juta per bulan. Nama Al Husna cukup tenar di pasar busana muslim tanah air. Beragam produk baju koko dan gamisnya sudah masuk ke gerai ritel modern seperti Ramayana dan Carrefour di seluruh Indonesia. Asal Anda tahu, nilai penjualan busana yang kerap dipakai sejumlah artis itu kini mencapai ratusan juta per bulan. Di balik pencapaian  itu, bisnis ini dulunya berawal dari usaha kecil-kecilan Finaldo Moechtar di garasi rumahnya. Filando merintis bisnis ini 19 tahun silam. Ide bisnis konveksi bermula dari keinginan Finaldo memiliki usaha sampingan. Saat itu pria kelahiran Bukit Tinggi ini masih bekerja di PT National Gobel, Jakarta. Obsesi itu cepat terwujud karena sang istri yang seorang dosen punya waktu luang. Ia hanya mengajar beberapa hari dalam seminggu. Keduanya lalu sepakat merintis usaha busana muslim, khususnya baju gamis. Finaldo bilang, pilihan itu awalnya menentang arus. Saat itu, Animo masyarakat untuk berbaju muslim masih rendah. "Tapi saya yakin busana muslim ke depan akan populer," kisahnya. Finaldo merintis usaha dengan modal satu mesin jahit dan seorang penjahit. Dalam sebulan, produksinya hanya beberapa lusin saja. Busana yang ia beri merek al-Husna itu ia titipkan di toko-toko sekitar Depok, Bogor dan Jakarta. Istrinyalah yang mengurus bisnis ini sehari-hari, sementara Finaldo lebih bertanggung jawab pada desain. "Ilmu dasarnya seperti yang saya pelajari di bangku kuliah, hanya ini dituangkan dalam bentuk pakaian," tutur prima lulusan desain interior di Institut Teknologi Bandung ini. Dua tahun berjalan, bisnisnya mulai berkembang. Ia tak lagi memasok produk ke pasar tradisional, melainkan ke toko modern seperti Matahari dan Ramayana. Lini produknya pun bertambah. Jika sebelumnya hanya membuat gamis, Finaldo kini mulai bikin baju koko untuk usia anak-anak hingga dewasa. Mereknya bukan cuma Al Husna, tapi juga Junior, Haniv, Harmony, dan Combo. Untuk melayani permintaan yang terus tumbuh itu, Finaldo mengandalkan tenaga penjahit lepas. Ia merangkul kelompok penjahit dari wilayah Jabodetabek, Jawa Barat hingga Jawa Tengah. Bisnis yang kian berkembang akhirnya mendorong bapak berputra dua ini untuk memutuskan berhenti dari tempat kerjanya pada 1998. "Saya merasa bisnis ini tidak bisa dikerjakan paruh waktu lagi," ujar pemilik  PT Hanif Jaya Persada ini. Kini, baju muslim merek Al Husna rutin mengisi gerai Ramayana dan Carrefour. Finaldo juga menjualnya lewat distributor di 8 provinsi dan secara online. Ditipu rekan bisnis Bisnis pakaian muslim Finaldo Moechtar berkembang pesat. Toh, bukan berarti perjalanan Finaldo membesarkan usahanya selalu mulus. Salah satunya, ia pernah ditipu rekan bisnisnya. Tapi berkat keberhasilannya mengatasi berbagai kendala, produk Finaldo berhasil menembus ritel modern. Bisnis baju muslim Finaldo Moechtar termasuk cepat berkembang. Lihat saja, di awal memulai bisnis 19 tahun silam, Finaldo cuma bisa menyewa satu penjahit. Maklum, ia memulai bisnis baju muslim dengan modal Rp 600.000. Duit itu cuma cukup membeli satu unit mesin jahit, beberapa meter kain, dan menyewa satu penjahit. Tapi, dua bulan menjalankan bisnis, penjualan produk Finaldo sudah berkembang. Selanjutnya, bisnis bergulir kencang dan Finaldo terus meningkatkan produksi. Atas saran adiknya, Finaldo mulai menggunakan tenaga penjahit di kawasan Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung. "Selain lebih cepat, juga lebih murah," kisahnya. Namun Finaldo sempat merasakan pahitnya berbisnis. Saat itu pria kelahiran Bukittinggi ini masih menitipkan produknya di berbagai toko. Biasanya, para pedagang atau pemilik toko tersebut baru membayar setelah barang terjual. Suatu saat, salah seorang pedagang langganannya membawa kabur semua pakaian muslim buatan Finaldo. "Padahal modal kami terbatas, karena kami masih baru berbisnis," kisah lelaki berusia 52 tahun ini. Kejadian itu membuat Finaldo kapok berjualan di toko-toko biasa. Soalnya, selain besarnya risiko kehilangan barang, juga tidak ada kepastian pembayaran. Maka, ia pun membidik peritel modern. Mujur pula, tidak lama setelah kejadian itu, Finaldo mendapat peluang menjadi pemasok di Matahari Department Store. Kesempatan tersebut  berawal dari perkenalan istrinya dengan seorang pemasok barang ke ritel modern itu. Lantas, si pemasok tadi memperkenalkan Finaldo dan istrinya ke pihak Matahari. Maka, sejak 1992 Finaldo mulai memasok baju muslim ke gerai Matahari. Finaldo juga mulai membuat baju koko bordir, lantaran diminta peritel besar tersebut. Dari situ, bisnis Finaldo berkembang pesat. Produk Al Husna makin laris. Salah satu kuncinya, karena Finaldo selalu mengikuti selera pasar. "Konsep desainnya minimalis dengan sentuhan islami," ujar ayah dua anak ini. Setahun bekerjasama, Matahari meminta Finaldo memproduksi baju muslim anak-anak. Finaldo lantas mengeluarkan merek baru, yaitu Al Husna Junior. Di tahun yang sama, dia juga menjalin kerjasama dengan jaringan ritel modern Ramayana. Sayang, karena keterbatasan modal, Finaldo keteteran memenuhi permintaan kedua ritel tersebut. Tahun 1995, Finaldo memutuskan hanya memasok ke Ramayana. Sebab, "Jaringannya lebih banyak," ungkap pemilik PT Haniv Jaya Persada ini. Finaldo pun terus mencoba memperluas cakupan pangsa pasarnya. Untuk itu, dia lantas mengeluarkan dua merek baju muslim baru yang menyasar segmen pasar yang berbeda dengan Al Husna. "Kedua merek itu didesain untuk spesial produk atau produk khusus obralan," tuturnya. Strategi itu sukses. Buktinya, kini saban bulan Finaldo bisa memproduksi 4.000 potong baju muslim. Jumlah ini cuma untuk memenuhi pesanan departement store. Penjahit Mulai Berulah Satu per satu, masalah baru muncul menghadang Finaldo Moechtar. Salah satunya, para penjahitnya mulai berulah. Beruntung, Finaldo mampu menerapkan sistem kerja yang membuat bisnisnya kian melaju. Saat bisnis pakaian muslim merek Al Husna kian berkembang, Finaldo Moechtar menghadapi masalah pelik. Penjahit sewaan yang ia ambil dari Perkampungan Industri Kecil (PIK) Pulogadung mulai berulah dan mengakalinya. Akhirnya, pemilik PT Hanif Jaya Persada ini terpaksa menghentikan kerjasama dengan kelompok penjahit itu. Kejadian itu berlangsung pada 1995. Kendati demikian, "Masalah itu tak membuat kami patah semangat. Kami terpacu untuk membenahi sistem manajemen perusahaan," tuturnya. Beruntung, selama di Pulogadung, Finaldo banyak berkenalan dengan pebisnis lain yang memakai tenaga penjahit di Pekalongan dan Tanjung Priok. Dia pun memutuskan beralih ke penjahit di daerah itu. Kerjasama itu berjalan baik. Seiring dengan perkembangan usahanya, Finaldo merangkul 27 kelompok atau  sekitar 200 penjahit yang tersebar di wilayah Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bogor, Sukabumi, Garut, Pekalongan, Subang, hingga Purwakarta. Kelompok penjahit inilah yang kemudian menjadi mitra produksi Al Husna hingga saat ini. Pada tahun 1998, Finaldo memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempatnya bekerja. “Supaya fokus membangun bisnis,” imbuh bapak dua anak ini. Hanya saja, krisis moneter yang terjadi pada tahun tersebut ikut mengguncang usahanya. Kendati demikian, dia tak kehilangan akal untuk menggenjot produksi dan memperbaiki kualitas sehingga produknya tetap dilirik pasar. “Saya percaya, penyokong utama yang membuat kami mampu melewati krisis adalah doa ratusan penjahit dibalik Al Husna," ungkapnya. Untuk mencapai tujuannya itu, dia lantas membuat sistem yang ketat dengan para pekerjanya. Salah satunya dengan menerapkan standar tingkat kecacatan produksi di angka 0,5%. Artinya, dari 100 potong baju yang dijahit, hanya lima potong saja yang boleh cacat atau salah. Lima baju itu pun harus dipermak dulu sebelum dinyatakan lulus  kontrol kualitas (quality control). "Rasio ini sama dengan standar yang ditetapkan industri Jepang,” imbuhnya. Selain itu, dia juga menerapkan sejumlah sanksi berupa denda untuk setiap keterlambatan produksi. Tapi, denda ini juga berlaku bagi dirinya jika dia telat membayar upah para penjahit. Sistem tersebut mampu membuat bisnis Finaldo melaju. Apalagi, pada 2007, dia mendapat bantuan modal dari PT Rekayasa Industri melalui UKM Center Universitas Indonesia. Suntikan dana inilah yang ia jadikan modal meningkatkan kapasitas produksi. Dia juga melakukan inovasi dengan menggagas pendirian toko online di internet. Finaldo juga membuka jaringan distributor yang kini sudah merambah di delapan  provinsi. Kegiatan promosi pun mulai dilakukan lewat media cetak, televisi, dan berbagai pameran. Bahkan, mulai tahun ini, produk Al Husna berhasil merambah ritel modern lain, yaitu Carrefour. Al Husna telah memberi banyak rezeki bagi Finaldo. Tapi, menurutnya, kebahagiaan terbesar adalah saat ia bisa berbagi dan menghidupi tiga pesantren di Sumatera Barat yang ia dirikan bersama warga di sana. Melebarkan sayap bisnis Sederet rencana disiapkan Finaldo untuk melebarkan sayap bisnisnya. Mulai dari menyiapkan tim produksi khusus, peluncuran produk baru yang menyasar kalangan perempuan, hingga memanfaatkan bahan limbah produksi. Finaldo juga mulai menyiapkan sosok penerus yang akan memegang kendali usahanya nanti. Finaldo Moechtar tidak menyimpan rahasia suksesnya dalam berbisnis untuk dirinya sendiri. Dia bersedia berbagi dengan orang lain. Bahkan, sejak usahanya berkembang pesat, dia kerap diundang memberi ceramah dan motivasi soal pentingnya wirausaha. Keinginannya mengajak lebih banyak orang menjadi entrepreneur dia salurkan lewat PT Desindo Sentra Kreasi. Lewat perusahaan konsultan desain yang ia dirikan bersama teman-temannya pada 1995 itu, Finaldo membantu orang lain meretas mimpi menjadi pengusaha. "Saya punya impian menjadikan Indonesia sebagai negara produsen, sebab pasar di Indonesia sangat besar," tuturnya. Toh, meski sibuk mengajak orang lain menjadi pengusaha, bukan berarti Finaldo melupakan bisnisnya. Ia tetap fokus menyiapkan rencana ekspansi. Misalnya, ia akan meningkatkan kapasitas produksi. Untuk mencapai target itu, selain mengandalkan produksi lewat perajin mitra nya, Finaldo juga mulai mengadakan mesin jahit dan penjahit sendiri. Peningkatan  kapasitas ini terkait rencananya meluncurkan beberapa busana muslim terbaru mulai 2010. Tapi, sebelum sampai ke tahap itu, Finaldo akan lebih dulu mengenalkan produk yang bakal menjaring lebih banyak konsumen dari kaum perempuan, awal tahun depan. Misalnya jilbab, mukena, hingga daster muslimah. Selain menggenjot produksi, Finaldo juga punya tim produksi khusus untuk merancang produk-produk kreatif. Salah satu sumbangan tim ini adalah menciptakan celemek dan rompi dengan menggunakan bahan baku limbah produksi. Finaldo sebenarnya sudah merancang pemanfaatan limbah menjadi barang bernilai jual sejak 2007 lalu. "Kami sudah merintis penggunaan limbah pada beberapa busana muslim. Karena pasar merespon, kami semakin percaya diri untuk berkreasi," tutur lelaki pehobi tanaman ini. Setelah membenahi proses produksi, rencana Finaldo berikutnya adalah mengembangkan pasar. Ia ingin punya distributor di tiap wilayah di Indonesia. Saat ini ia baru punya mitra di delapan provinsi. Di luar urusan bisnis, Finaldo berharap dapat berbagi lebih banyak lagi dengan orang lain. "Bisnis itu bukan semata mencari keuntungan, tapi juga mendatangkan manfaat bagi orang lain," ujarnya. Karena itu, bapak dua putra ini berencana merangkul para pemuda putus sekolah untuk ambil bagian dalam usahanya. Finaldo juga membuka diri bagi mereka yang berniat magang, termasuk pebisnis pemula yang ingin belajar. Setelah hampir dua dekade perjalanannya membesarkan Al Husna, Finaldo bakal menyerahkan tongkat estafet kepada salah satu putranya. Maka itu, meski kedua putranya saat ini masih muda, sejak jauh hari ia sudah menurunkan ilmu dagang kepada mereka. Finaldo bilang, siapapun kelak menjadi penerus usahanya, orang itu haruslah pebisnis yang mampu menghidupkan ajarannya, yakni menghadirkan Sang Pencipta dalam berbisnis. Di hari tuanya, Finaldo memilih menjadi petani. Makanya, sejak lima tahun terakhir dia telah mempersiapkan lahan di kampung halamannya untuk menanam kedelai dan lainnya. "Saya akan mengajak orang di sana untuk memproduksi tempe, sekaligus memberdayakan para petani tradisional," tuturnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Dikky Setiawan